Mengenal Kebijakan Liburan Tanpa Batas ala Netflix

Tampilan Netflix dari laptop - Bloomberg

Tampilan Netflix dari laptop - Bloomberg

Like

Netflix jadi salah satu perusahaan yang ketiban berkah dari kebijakan karantina di sejumlah negara untuk mencegah penularan Covid-19. 

Lihat saja kinerja Netflix pada semester I/2020. Pendapatan mereka naik 26,17 persen menjadi US$11,91 miliar. Sedangkan laba bersih Netflix naik 132,51 persen menjadi US$1,42 miliar.

Sementara itu, total streaming paid membership Netflix naik 27,3 persen secara tahunan atau menjadi 192,85 juta pada Q2/2020.

Hingga semester I/2020, jumlah streaming paid membership Netflix bertambah 25,86 juta atau lebih banyak 173,07 persen dibandingkan periode semester I/2019.

Asik bener ya. Kebijakan karantina justru bikin mujur nasib Netflix. Kalau kinerja perusahaan moncer, terus gimana nih dengan kondisi karyawannya?


Jadi Karyawan Netflix: Liburan Tanpa Batas

 

No Rules Rules: Netflix and the Culture of Reinvention - Amazon.com

No Rules Rules: Netflix and the Culture of Reinvention - Amazon.com

Ngomongin soal kondisi karyawan, jadi keinget sama co-CEO Netflix Reed Hastings bersama penulis Erin Meyer yang baru nerbitin buku berjudul 'No Rules Rules: Netflix and the Culture of Reinvention' pada 8 September 2020 lalu.


Dalam buku tersebut, doi ngebahas tentang gebrakan kebijakan 'liburan tanpa batas' yang diterapkan ke para karyawan Netflix.

Liburan tanpa batas atau yang disebut Netflix sebagai 'Kebijakan Tanpa Liburan' pada dasarnya bikin karyawan dapat memutuskan sendiri kapan harus bekerja dan kapan harus istirahat.

Asik banget karyawan bisa nentuin kapan harus kerja dan istirahat. Namun, kebijakan ini sempat memicu munculnya kubu pendukung dan penentang lho.

Para pendukung kebijakan ini menyukai kebebasan dan fleksibilitas penawaran liburan tanpa batas.

Namun, penentang kebijakan ini menilai hal itu justru sebenarnya merusak kebebasan karyawan. Soalnya, karyawan akhirnya lebih banyak bekerja karena takut kehilangan pekerjaan.

Jadi, siapa yang benar nih?


Awal Mula Kebijakan Ini

c-CEO Netflix Reed Hastings - Bloomberg

co-CEO Netflix Reed Hastings - Bloomberg

Hingga 2003, Netflix mengalokasikan dan melacak hari libur para karyawannya seperti perusahaan lainnya. Namun, saran dari seorang karyawan ngebuat perusahaan mempertimbangkan untuk melakukan perubahan.

Karyawan itu bilang, "Kami semua bekerja online beberapa pekan, menanggapi email pada jam-jam aneh, mengambil rehat pada sore hari untuk waktu pribadi. Kami enggak melacak jam kerja per hari atau minggu. Mengapa kami melacak hari liburan per tahun?"  

Hastings sadar kalau dia enggak punya jawaban buat pernyataan dan pertanyaan tersebut.

Hastings menulis kalau di era informasi yang penting adalah apa yang kamu capai, bukan berapa jam kamu habiskan.

Di Netflix kerja keras enggak relevan, jadi kenapa harus peduli jika seorang karyawan bekerja 50 atau 48 minggu dalam setahun?

Selain itu, Hastings menyadari kalau banyak inovasi terbesar perusahaan terjadi setelah orang balik dari liburan.

"Waktu istirahat menyediakan bandwidth mental yang memungkinkan seseorang untuk berpikir kreatif dan melihat pekerjaan dari sudut pandang yang berbeda. Jika bekerja sepanjang waktu, kamu enggak punya perspektif untuk melihat masalah dengan mata segar," ungkap Hastings.


Namun, Kekhawatiran Tetap Saja Muncul

Ada dua kekhawatiran jika Netflix menghapuskan kebijakan liburan sama sekali. Pertama, Kantornya lumpuh. Sebab, semua orang menghilang saat deadline yang penting kian deket. Kedua, karyawannya berubah jadi zombie setelah kerja bertahun-tahun tanpa libur.

Ketakutan itu ternyata ada benarnya. Hanya 1 tahun setelah menerapkan 'kebijakan tanpa liburan', divisi akuntansi Netflix hampir terlambat tutup buku laporan keuangan perusahaan. Soalnya, seorang anggota divisi tersebut ngambil libur selama 2 minggu pada awal Januari.

Ada pula kasus seorang manajer pemasaran yang kerja hingga larut malam dan bangun pagi. Bahkan, pada suatu momen, dia enggak benar-benar berlibur selama 4 tahun.

Persoalannya di mana? Ternyata bos dan kolega satu timnya semua gila kerja. Dia takut liburan karena enggak ingin dikira kurang tanggung jawab dengan kerjaan.


Meski Begitu, Kebijakan Ini Oke Kok bagi Karyawan Lainnya

Seorang insinyur bilang kalau dia punya keseimbangan kehidupan kerja dan pribadi yang luar biasa di Netflix. Dia pernah mengambil libur sebanyak 7 minggu. Padahal, waktu itu masih di bulan Oktober.

"Saya bersepeda, saya seorang musisi, dan anak-anak saya membutuhkan ayahnya. Saya sering berpikir, saya menghasilkan semua uang ini .... bukankah seharusnya saya bekerja lebih banyak? Namun, saya menyelesaikan banyak hal, jadi saya meyakinkan diri sendiri kalau keseimbangan kehidupan kerja luar biasa yang saya miliki," kata insinyur tersebut.

Karyawan lainnya mengaku hal terbaik tentang kebebasan yang Netflix berikan bukan karena dapat mengambil cuti lebih atau kurang. Melainkan karena karyawan dapat mengatur hidup dengan cara gila, selama karyawan melakukan pekerjaan dengan hebat, say goodbye to kantung mata hitam di kelopak mata.


Koridor yang Bikin Kebijakan Ini Bisa Berjalan

Seiring berjalannya waktu, para petinggi Netflix belajar dari kesalahan dan ngebuat penyesuaian yang diperlukan terkait kebijakan ini. Pelajaran tersebut termasuk menguraikan dua langkah penting.

Pertama adalah 'pemimpin harus ngasih contoh'. Kelihatannya terdengar klasik, tapi seorang pemimpin dapat mendorong karyawannya berlibur dengan cara atasan juga harus lebih sering berlibur.

Soalnya, dalam kondisi ketidakadaan kebijakan liburan, jumlah liburan yang diambil sebagian besar karyawan biasanya tergantung dari jumlah liburan yang diambil oleh para atasan dan kolega.

Semenjak mencabut kebijakan liburan perusahaan, Hastings ngambil liburan 6 minggu dalam setahun. Dia mulai berbicara lebih banyak tentang liburan kepada siapapun yang mau mendengarkan. Gimana dengan bos Be-emers nih?

Lalu yang kedua adalah 'tetapkan dan perkuat konteks'. Ketika Netflix awalnya ngehapus kebijakan liburannya, Hastings dan rekan-rekannya enggak terlalu mikirin perlunya mengatur konteks.

Namun, hal itu ternyata kesalahan yang bikin masalah seperti kegagalan akuntansi terjadi. Dengan enggak adanya kebijakan tertulis, setiap manajer harus meluangkan waktu buat ngobrol sama tim tentang perilaku apa yang dapat diterima dan pantas.

Para manajer harus menetapkan parameter, seperti berapa banyak anggota tim yang boleh libur dalam suatu waktu dan peringatan awal kalau mau ngambil libur panjang. Sesama anggota tim juga perlu komunikasi, misalnya bisa saling tek-tokan soal kerja dan waktu liburan. 


Kebijakan Liburan Tanpa Batas Tetap Bikin Untung Perusahaan Kok

Jika dilakukan dengan bener, kebijakan 'liburan tanpa batas' dapat memberdayakan karyawan, meningkatkan kepuasan karyawan, dan jadi alat perekrutan yang ampuh lho.

Menurut Hastings, ini membantu menarik dan mempertahankan talenta terbaik, terutama Gen-Z-ers dan Millennials yang pengen lebih fleksibel.

"Yang terpenting, kebebasan memberi sinyal kepada karyawan bahwa perusahaan mempercayai mereka melakukan hal yang benar, yang pada gilirannya mendorong perilaku yang bertanggung jawab," kata Hastings.

Hastings mengatakan pihaknya telah menemukan cara memberi karyawan Netflix yang berkinerja tinggi sedikit lebih banyak kendali atas hidup mereka, dan kontrol itu membuat semua orang merasa sedikit lebih bebas.

Apakah aturan seperti ini juga bisa diterapkan di perusahaan-perusahaan di Indonesia?

Coba bagikan dan diskusikan tulisan ini ke petinggi atau HRD di kantor Be-emers. Barangkali, mereka tertarik buat menerapkan kebijakan 'liburan tanpa batas' ala Netflix kan.


Baca Juga: Belajar dari CEO Netflix: Jadi Raksasa Streaming, Ini Budaya Kerja yang Diterapkan