Hamil di Tengah Pandemi Sekaligus Dirumahkan? Double Kill or God Will?

Memasak menjadi salah satu cara bumil sepertiku untuk mengasah kreativitas dan memperbaiki keuangan (Sumber gambar: nbcnews.com)

Memasak menjadi salah satu cara bumil sepertiku untuk mengasah kreativitas dan memperbaiki keuangan (Sumber gambar: nbcnews.com)

Like

Covid-19 tak pernah seseram dan seserius itu sebelumnya buatku. Pandemi satu ini bahkan sempat membuatku dilema antara ku harus takut atau sedikit bahagia karena kebijakan Work From Home (WFH) diberlakukan di tempat kerjaku. Maklum, karyawan macam mana yang tak jenuh dengan pekerjaan dan rutinitas.

Dengan WFH ku bisa relax sedikit dengan suasana rumah yang tenang, waktu yang sedikit lebih santai, karena ku bisa duduk di depan laptop meski belum mandi atau sekadar sikat gigi. Setidaknya itu yang membahagiakan untukku. Tanpa ku sadari, kondisi terlalu bahagia seringkali tidaklah baik.

Pandemi yang berlarut ini ternyata ikut berimbas pada nasib kantorku, atau lebih tepatnya berimbas untukku. Kantor terpaksa “merumahkan” hampir sebagian besar karyawannya karena pandemi ini. Kata “merumahkan” ini sempat ambigu di telingaku, karena toh beberapa bulan ini kita memang di rumah aja. Tapi ternyata “dirumahkan” adalah kata halus dari maksud pemberhentian kerja.

Mendadak? Oh tentu saja. Sedih? Pastinya. Aku langsung galau mendadak memikirkan nasib bulan-bulan ke depan saat itu. Ditambah lagi, aku sedang hamil, dan belum ku-publish pula berita soal itu di kantor karena ku merasa pamali jika mengabarkan berita tersebut sebelum empat bulan kehamilan. Hormon hamil yang membuat moodberubah-ubah, langsung menerpaku saat itu juga.

Aku sedih. Harusnya tabungan menjelang persalinan bertambah, namun yang harus terjadi malah pendapatan yang berkurang. Tapi pandemi memang tak bisa dicegah. Anggaplah aku sedang sial. Anggaplah memang itu rencana dan kehendak Tuhan agar aku bisa mempersiapkan kehamilan pertamaku ini dengan baik.


Namun aku tetap merasa, keberuntungan itu bisa dicari dan diciptakan sendiri. Yang ada di otakku saat itu bagaimana menambah pundi-pundi penghasilan yang bisa setidaknya menutupi gajiku setiap bulannya. Dan ntah bagaimana caranya serta darimana semangatku muncul, kuputuskan untuk berkutat dengan hobi lamaku yaitu memasak.

Hobi yang dulu sempat menjadi perdebatan oleh keluargaku saat beberapa tahun silam kuputuskan untuk memilih jalur wirausaha dengan menjalankan bisnis restoran bareng beberapa kawanku. Kumanfaatkan passion yang sempat terkubur itu sebagai caraku mencari penghasilan. Jika dulu memasak hanya kujadikan hobi dan ajang menghabiskan waktu, kini ceritanya tentu lain lagi.

Kumanfaatkan moment bulan puasa dengan mencoba menjual beberapa menu takjil. Tak hanya itu, durian Monthong Palu juga menjadi salah satu opsi daganganku bersama suamiku. Kupercaya usaha tak pernah mengkhianati hasil, terlebih di saat cobaan mendera seperti ini. Kulalui semua dengan hati riang dan ikhlas, hingga tanpa ku sadari kunikmati itu semua bahkan sampai detik ini.

Dan hasil selalu mengikuti usaha. Hamil tak menghalangiku untuk tetap semangat dan terus berkreasi, kucoba beberapa menu makanan baik yang manis dan gurih untuk kujual, dari yang awalnya hanya ingin sekadar mendapat profit, hingga kusadari ternyata bahagia kudapatkan karena menyaksikan customer puas dan menikmati semua makanan-makananku.

Pandemi memang musibah. Dan aku bukan orang yang paling menderita. Segala masalah memang sama efeknya, tapi bagaimana cara kita memandangnya bisa menjadi sesuatu yang berbeda. Di kondisi ini, aku berpikir bahwa Covid-19 merupakan salah satu cara Tuhan untuk membuatku berkonsentrasi akan kehamilan.

Membuatku beristirahat akan kepenatan dan menurunkan tingkat stressku akan pekerjaan beberapa bulan terakhir. Pandemi ini juga menyadarkanku bahwa baiknya bekerja sewajarnya saja. Kita tak pernah tahu kapan bos akan selesai “memakai” kita.

Namun, menjadi manusia yang kreatif dan pantang menyerah adalah hal yang menurutku wajib untuk dipupuk. Manusia kreatif akan selalu menghasilkan sesuatu, tak selalu berbicara soal nominal, namun kepuasaan dan kebahagiaan hidup pasti akan selalu didapat. Bukankah menjadi bahagia adalah tujuan setiap manusia hidup di dunia?

Aku percaya, rezeki akan selalu bisa dicari dan tentu tidak mungkin tertukar. Masalahku hari ini bisa menjadi pembelajaranku di kemudian hari. Menjadi bekalku untuk menjalani hidup sebuntu apapun aku di kemudian hari. Mengingat aku pernah sesemangat ini menjalani sesuatu demi sebuah keluarga kecil yang sedang kunantikan.

Dan teruntuk ibu muda di luar sana yang sedang mengalami hal yang sama sepertiku, kalian luar biasa. Dari kalianlah akan muncul bayi-bayi hebat yang kreatif dan juga pantang menyerah. Pandemi boleh memporakporandakan perekonomian kita, namun kesejahteraan hidup kita akan selalu bisa kita usahakan.

Dan buatku pribadi, hamil di tengah pandemi sekaligus "dirumahkan" seperti ini kuanggap sebagai "God Will" yang mempunyai maksud tertentu untukku ke depannya.
“Optimisme adalah takdir yang mengarahkan kepada pencapaian. Tidak ada yang bisa dilakukan tanpa harapan dan kepercayaan diri” – Helen Keller