Kecerdasan Ekonomi-Spiritual Menuju Survival di Era New Normal

Manusia dikaruniai berbagai kecerdasan yang dapat dioptimalkan . (Sumber gambar: https://ulyadays.com/)

Manusia dikaruniai berbagai kecerdasan yang dapat dioptimalkan . (Sumber gambar: https://ulyadays.com/)

Like

Dunia, termasuk Indonesia, sedang bersiap menghadapi dan beradaptasi di era new normal. World Health Organization (WHO) menyatakan virus corona dapat menjadi endemik seperti HIV. Virus ini diprediksi tidak akan pernah hilang meskipun antivirus ditemukan sekalipun. Adaptasi harus tetap memprioritaskan protokol kesehatan menjadi kenormalan kehidupan yang baru.

Semua pihak tidak ada yang menyangkal bahwa era new normal adalah keniscayaan. Hanya perdebatan terjadi terkait periode dimulainya. WHO dan Gugus Percepatan Penanganan Covid-19 Nasional sudah memberikan rambu-rambunya. Pemerintah pusat dan daerah penting konsekuen mengikuti persyaratan tersebut. Bentuk kesiapan dan persiapan semua pihak sudah mesti harus dilakukan.

Sektor yang paling terdampak Covid-19 adalah ekonomi mulai mikro hingga makro. Sedangkan strategi fundamental guna mendorong perubahan perilaku masyarakat ke tatanan baru di era new normal yang layak dipertimbangkan adalah motivasi spiritual. Kecerdasan ekonomi dan spiritual dengan demikian dibutuhkan aktualisasinya sebagai bentuk kesiapan fundamental setiap individu menghadapi survivalisme kehidupan era new normal nanti.
 

Prasyarat New Normal

WHO telah mengeluarkan syarat utama agar sebuah negara dapat memberlakukan new normal. Pertama, melakukan pengetesan 1 orang per 1000 penduduk per minggu.

Secara nasional, total pengetesan baru sekitar 264 ribu test, dimana 130 ribunya dilakukan di Jakarta dan sisanya tersebar se Indonesia. Indonesia dengan sekitar 250 juta penduduk, apabila dihitung mulai tesnya pada 2 Maret 2020, idealnya sudah harus melakukan 3 juta pengetesan massal.

Kedua, angka reproduksi di bawah 1 yakni 2 orang menulari 1 orang atau secara angka 1 orang menulari 1/2 orang lain. Angka ini harus bertahan selama 14 hari. Syarat ini sempat dipenuhi Jakarta sebagai episentrum kasus. Namun saat ini angka reproduksi naik lagi lebih dari 1.


Selanjutnya, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menetapkan 3 kriteria untuk menentukan suatu daerah siap menerapkan new normal. Ketiga kriteria antara lain epidemiologi, surveilans kesehatan masyarakat, serta pelayanan kesehatan.

Berdasarkan tiga kriteria itu, ada 11 indikator yang ditetapkan pemerintah untuk menentukan layak atau tidaknya suatu wilayah menerapkan new normal. Pertama, penurunan jumlah kasus positif selama dua minggu sejak puncak terakhir (target lebih dari 50 persen).

Kedua, penurunan jumlah kasus probable selama dua minggu sejak puncak terakhir (target lebih dari 50 persen). Ketiga, penurunan jumlah meninggal dari kasus positif. Keempat, penurunan jumlah meninggal dari kasus probable.

Kelima, penurunan jumlah kasus positif yang dirawat di rumah sakit. Keenam, penurunan jumlah kasus probable yang dirawar di rumah sakit. Ketujuh, kenaikan jumlah sembuh dari kasus positif. Kedelapan, kenaikan jumlah selesai pemantauan dari probable (ODP dan PDP).

Kesembilan, jumlah pemeriksaan spesimen meningkat selama dua minggu. Kesepuluh, positivity rate. Dan kesebelas, rerata angka reproduksi efektif <1. Pemerintah pusat dan daerah mesti terbuka dan obyektif melakukan penilian menggunakan indokator di atas. Dengan demikian risiko pemberlakukan new normal dapat diantisipasi.
 

Ekonomika Spiritual

Ruh spiritual sebagai pegangan fundamental tidak hanya direali­sasikan dalam pola hubungan vertikal dengan Tuhan. Spiritualisme mesti dilaksanakan secara horisontal untuk kehidupan duniawi.
 
Salah satu yang masih membutuhkan sentuhan kebersamaan adalah penanggulangan dan membangkitkan spirit bersama secara kemanusiaan.  Sasaran program kemanusiaan tidak mengenal agama. Semua agama juga dipastikan memiliki perhatian dan mengajarkan kepedulian melalui agenda kemanusiaan.

Untuk itu, tidak ada salahnya, bahkan akan lebih optimal, jika antar komponen agama dan lainnya bergandengan tangan menunjukkan kebersamaan dalam solidaritas. Antar sesama penting tidak saling curiga. 

Korban terdampak membutuhkan murni uluran tangan kemanusiaan. Konsep keikhlasan penting dikedepankan dari para relawan. Apapun tanggapan dan tindakan warga terdampak pasca pelaksanaan agenda kemanusiaan biarlah terjadi secara alamiah dan mesti dihormati.

Kemanusiaan mesti menjadi agenda tetap dan berkelanjutan. Bukan sekadar program insidentil dan spontanitas. Kemanusiaan merupakan bagian sinergi yang membuka lebar sinergi lintas keyakinan.

Koordinasi dan komunikasi rutin mesti dijaga dan dilakukan guna menguatkan solidaritas sekaligus mengikis kecurigaan. Pemerintah, ororitas keagamaan, dan ormas mesti menjadi garda terdepan dalam menyiapkan aspek spiritual dan aktualisasinya di era new normal nanti.

Selanjutnya, terkait kesiapan ekonomi perlu ditekankan prinsip teologis. Menurut Islam, bekerja adalah ibadah atau ritus aplikatif. Islam memberi motivasi dalam doktrinnya bahwa Allah lebih suka tangan di atas (pemberi) dari pada tangan di bawah (penerima).

Untuk dapat mem­beri, harus mempunyai dan agar punya, mesti berusaha (bekerja). Selain jaminan materi ada jaminan hakiki, yakni kebahagiaan akhirat. Kon­sekuensi logisnya mesti mengi­kuti prosedur yang diridhoi-Nya.

Masyara­kat juga mempunyai tang­gung jawab mengupayakan hadirnya lapangan kerja dan menyiapkan kualitas pe­kerjanya. Bahkan, ini adalah kewaji­ban kolektif (fardhu kifayah).

Beberapa perilaku ekonomis diajarkan Islam dan penting diaplika­sikan dalam kehidupan new normal. Usaha ekonomi dalam Islam bukan hanya untuk kebutuhan setiap indivi­du, tetapi juga memiliki fungsi sosial bagi sesama, termasuk fungsi makro ikut andil menjaga stabilitas ekonomi di tengah kondisi pandemi masih terjadi. Berikut adalah aplikasi spiri­tualisme ekonomi yang penting diterap­kan.

Pertama, menggunakan materi secukupnya. Memproduksi barang-barang yang baik dan memiliki harta secara pribadi adalah hak sah. Pemilikan barang bukanlah tujuan namun sarana untuk menikmati karunia Allah dan untuk mewujudkan kemaslahatan umum.

Memiliki harta untuk disimpan, diperbanyak, lalu dihitung-hitung, apalagi untuk kesombongan adalah tindakan sia-sia dan dilarang. Bagi umat muslim, itu me­rupakan penyimpangan dari petun­juk Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disya­riatkan oleh Allah. Oleh karena itu, tidak boleh kikir dan boros.

Kedua, tidak menghambur-ham­burkan materi. Islam me­wajibkan setiap orang membe­lanjakan harta miliknya untuk memenuhi kebu­tuhan diri pribadi dan keluarganya serta me­nafkah­kannya di jalan Allah. Dengan kata lain Islam meme­rangi kekikiran dan kebatilan. Lara­ngan kedua dalam masalah harta adalah tidak berbuat mubazir kepada harta karena Islam meng­ajarkan bersifat sederhana.

Keempat, kewajiban membelan­ja­kan harta hanya untuk kebaikan dan kebutuhan. Islam mewajibkan umatnya untuk bekerja dan ber­penghasilan demi memenuhi kebu­tuhan hidup sehari-hari. Setelah seseorang memperoleh harta dengan cara halal maka ada kewajiban membelanjakannya.

Pembelanjaan harus meng­acu pada kaidah Islam, seperti tidak boros, tidak mubazir, tidak kikir, dan lainnya. Perintah membelanjakan harta di dalam Al Quran tercantum setelah perintah untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kelima, menghindari pembelan­jaan untuk barang mewah. Dalam konteks ini, fokusnya bukan jenis barangnya, tetapi nilai kemewa­hannya. Kemewahan sifatnya relatif dan tidak sama meskipun satu jenis.

Mewah dalam konteks ini adalah tidak ada kemanfaatan yang diambil dan sekadar prestice saja. Selain ada­nya unsur ketidakmanfaatan, barang mewah juga mengundang kecem­buruan sosial.

Keenam, berusaha menyisihkan pendapatan untuk ditabung. Kebutu­han manusia tidak hanya pada masa sekarang, tetapi juga waktu menda­tang. Sebagian memang bisa diprediksi dan direncanakan, namun seba­gian sulit dipastikan tingkat ke­butuhan mendatang.

Kesiapan spiritual dan ekonomi dan aktualisasnya nanti saat new normal akan sangat berharga bagi stabilitas perekonomian. Bagi selain muslim, penting menggali nilai ekonomi spiritual agamanya masing-masing. Semoga upaya ini akan membuahkan berkah dan turut berkontribusi bagi mitigasi stabilitas dan kehidupan survival di era new normal nanti.