Tercekik Cicilan Akibat Pandemi

Sumber gambar : Tribunnews.com

Sumber gambar : Tribunnews.com

Like

Dalam situasi pandemic seperti saat ini, banyak sekali orang orang yang terkena dampak dalam kehidupan mereka, termasuk ke para pekerja yang mengalami pengurangan gaji, di rumahkan sementara, hingga ke pemutusan hubungan kerja (PHK).

Menurut data Kemenaker saja, jumlah pekerja formal yang terkena PHK ada sebanyak 1.722.958. Dampak ini tidak hanya dirasakan Indonesia, bahkan di dunia menurut ILO diperkirakan ada 1,5 miliar pekerja yang ikut terdampak dari pandemic covid-19.  Hal ini menunjukan betapa seriusnya masalah yang ditimbulkan dari krisis kesehatan tersebut.

Bagi sebagian besar pekerja yang terdampak PHK atau pengurangan gaji, situasi seperti ini merupakan mimpi buruk yang tidak terbayangkan sebelumnya, khususnya bagi mereka yang mempunyai cicilan yang menumpuk. Sumber pendapatan berkurang bahkan hilang, namun kewajiban cicilan tetap berjalan. Belum lagi bunga yang muncul jika cicilan telat dibayar membuat kewajiban semakin membesar seperti bola salju.

Contohnya saja seperti cerita di postingan media social yang pernah viral, yang sebut saja namanya Bapak Tono.  Sebelum pandemic terjadi, pak Tono mendapat gaji 20 juta rupiah perbulan. Namun setelah adanya pandemi, perusahaan tempatnya bekerja memutuskan para pekerja untuk bekerja dari rumah WFH (Worked From Home) dan memotong separuh gajinya sehingga ia sekarang hanya mendapat 10 juta per bulan.

Sedangkan saat ini Pak Tono sedang memiliki cicilan Rumah sebesar 4,5 juta per bulan dan cicilan Mobil sebesar 4 juta per bulan, sehingga total cicilannya 9,5 juta per bulan. Hal ini membuat gaji Pak Tono tinggal tersisa 500 ribu rupiah per bulan, dimana jumlah tersebut tidak akan mencukupi kebutuhan sehari hari dalam sebulan.


Lalu apa sebaiknya yang harus pak Tono lakukan terhadap masalah keuangannya tersebut?

Langkah pertama yang pak Tono harus lakukan adalah membuat prioritas cicilan apa yang bisa di hilangkan. Tentu saja dari contoh di atas, mobil adalah pilihan yang realistis untuk di lepas karena rumah termasuk kebutuhan primer. Tetapi jika pun harus melepas rumah, kita harus memastikan masih ada tempat yang bisa kita tinggali.

Pertimbangan lain adalah melepas cicilan yang bukan menjadi sumber penghasilan, artinya jika kendaraan tersebut digunakan untuk mencari uang (misal untuk taksi online), maka sebaiknya cicilan tersebut di pertahankan. Pada akhirnya, usahakan agar cicilan menjadi berkurang sampai dengan 30% total penghasilan saat ini.

Selanjutnya adalah membuat daftar konsumsi dan kebutuhan hidup selama ini beserta besarnya biaya tersebut. Dari setiap item di daftar itu, tentukanlah jenisnya apakah termasuk kebutuhan wajib, kebutuhan tidak wajib tapi penting, dan kebutuhan tidak penting. Kebutuhan wajib artinya sesuatu yang harus ada untuk mempertahankan hidup, seperti untuk makanan pokok, air, listrik.

Kebutuhan tidak wajib tapi penting adalah kebutuhan tambahan yang perlu untuk menjaga stabilitas hidup, seperti bensin, pulsa, internet, dsb. Sedangkan kebutuan tidak penting seperti jajan, hiburan, dan pengeluaran tambahan lainnya.

Dalam kondisi saat ini, semua kebutuhan yang tidak penting seperti di atas bisa di hilangkan. Lalu pada kebutuhan wajib dan kebutuhan tidak wajib tapi penting bisa mulai di evaluasi untuk di pilih mana yang bisa di hilangkan, atau dikurangi baik kuantitas maupun kualitasnya. Semua perhitungan tersebut harus dilakukan hingga total pengeluaran plus cicilan mencapai 90% pengeluaran. Lalu sisa 10% harus di tabung sebagai dana darurat jika terjadi hal yang tidak di inginkan (misal sakit, kerusakan rumah, dsb.).
 
Dari kasus pak Tono di atas pun kita bisa mengambil hikmah untuk sebaiknya selalu menjaga batas jumlah cicilan yang kita ambil. Jumlah cicilan yang aman di ambil adalah sebesar 30% total pendapatan, namun pak tono mengambil cicilan hingga hampir 50%, sehingga jika ada masalah seperti pandemic sekarang ini, maka cicilan tersebut akan menjadi beban yang yang teramat berat untuk di hadapi.