Ketika Badai Corona Menghampiri, Betapa Porak Porandanya Kondisi Keuangan Ini

Keuangan Keluarga Yang Hancur Karena Corona (sumber : pexels.com)

Keuangan Keluarga Yang Hancur Karena Corona (sumber : pexels.com)

Like

“Mbak Mita, aku mohon keringanan untuk telat bayar uang kontrakan.”

Perempuan itu datang dengan muka kuyu. Badan tertunduk lemas. Rambut acak-acakan.

Lalu meluncurlah rangkaian cerita dari mulutnya yang kini menghitam. Tak ada lagi bibir merah merona seperti saat beberapa waktu lalu ia datang ke rumah kami. Aroma rokok pun tajam tercium dari badannya.

Ia bernama Nilam. Selama 2 tahun terakhir, ia mengontrak di salah satu rumah keluarga yang tidak kami tempati. Dua tahun pertama, uang kontrakan bisa dibayar dengan lancar. Masuk tahun ketiga, perekonomian keluarganya hancur diterjang badai corona.

Tahun ini benar-benar tahun yang berat bagi Nilam dan keluarga. Di awali dengan keputusannya untuk meminjam dana di sebuah pinjaman online di awal tahun. Uang tersebut rencana akan Nilam gunakan untuk suntikan dana produksi baju dan mukena menjelang hari raya Idul Fitri.


Namun, rupanya keputusan meminjam uang di pinjaman online bukanlah keputusan yang tepat. Sistem pinjaman online yang menerapkan bunga-berbunga inilah yang membuatnya masuk ke lingkaran setan baru.

Seluruh uang dan hartanya habis untuk menutupi utang di pinjaman online ini. Gali lubang tutup lubang untuk membayar utang di pinjaman online yang berubah menjadi berkali lipat dari jumlah uang awal yang dipinjamnya.

Belum selesai urusan melunasi utang di pinjaman online tersebut, lalu virus corona datang. Ekonomi hancur-hancuran. Daya beli masyarakat rendah. Produksi baju dan mukena yang sudah Nilam direncanakan untuk didistribusikan kemudian berhenti total. Sementara setoran cicilan utang harus terus jalan.

“Insya Allah sebulan lagi bisa kami lunasi uang kontrakannya Mba. Semoga corona cepat beres dan bisnis kami lancar lagi.” Pungkas Nilam saat ia berpamitan dari rumah kami.

Nyatanya, corona tidak beres dalam hitungan bulan. Kini sudah 4 bulan berlalu dan perekonomian keluarga Nilam masih belum kembali. Uang kontrakan pun belum berhasil dilunasi. Padahal semua asset harta sudah mulai dijual tapi belum mampu menutup semua utang-utangnya.

Apalagi kini ia malah terlibat dalam masalah utang baru. Ya, aku tau ini karena seringnya debt collector yang datang ke rumah kami menanyakan kondisi Nilam. Mengapa Nilam tak kunjung melunasi utang-utangnya juga.

Entahlah, kami juga bingung. Uang kontrakan belum dibayar, kini Nilam malah terlibat utang baru. Semakin tipis harapan kami uang kontrakan rumah akan dibayar dalam waktu dekat.
 

Banyak bisnis tutup saat masa pandemic COVID19 ini

Banyak bisnis tutup saat masa pandemic COVID19 ini


Badai corona ini memang membuat keuangan boncos. Hampir semua sektor merasakannya. Tidak hanya keluarga Nilam, begitupun dengan pundi-pundi keluarga kami. Proyek suami setahun ke depan sudah dipastikan batal. Gaji dipotong, apalagi bonus.

Masih bersyukur memang bahwa suami masih punya kerjaan. Di saat yang lain dipecat dari kerjaannya tanpa uang pesangon, kami masih punya pendapatan walau hanya gaji pokok saja.

Dari ujian badai corona ini, kami banyak memetik hikmah. Yang paling terasa adalah membuat manajemen keuangan yang baik. Menjaga agar cashflow keluarga tetap positif.

Untungnya keluarga kami tidak ada cicilan apapun. Sehingga saat keuangan terasa sangat sulit di masa pandemi ini, kami tetap bisa bertahan. Bagaimana kami harus irit dan mengatur ulang alokasi dana bulanan agar bisa selamat dan tidak menambah pos utang. Belanja hanya untuk memenuhi kebutuhan primer saja. Tidak ada rekreasi dan jalan-jalan ke tempat wisata.

Tidak terbayang bagaimana jika cicilan rumah dan kendaraan kami belum selesai. Sementara pendapatan turun drastis. Pasti pusing sekali memikirkan bagaimana caranya melunasi cicilan rumah dan kendaraan setiap bulannya.

Dari badai corona ini, keluarga kami juga belajar bagaimana beradaptasi dengan luwes terhadap keadaan yang tiba-tiba memporakporandakan kondisi finansial kami.

Saya juga jadi belajar bagaimana tetap bekerja dari rumah. Menambah skill yang sekiranya bisa dijual tanpa harus keluar rumah.

Suami memang masih tetap bertanggung jawab menafkahi saya dan ketiga anak kami. Tapi sebagai istri, saya terpanggil untuk membantunya menambah pendapatan supaya bebannya tidak terlalu berat. Dia memang tidak menuntut tapi kesadaran saya sendirilah yang tergerak.
 

Work From Home

Work From Home

Bekerja dari rumah atau Work From Home menjadi istilah yang sangat popular belakangan ini. Bagi saya pribadi sebenarnya sudah sangat familiar dengan kondisi ini.

Sejak memutuskan resign dari sebuah biro konsultan lingkungan 10 tahun silam, saya aktif bekerja dari rumah dengan menerima pekerjaan sebagai penerjemah dokumen untuk pasangan Bahasa Indonesia dan Inggris. Dengan bermodalkan laptop dan koneksi internet, saya bisa bekerja.

Maka di saat corona menghampiri, saya semakin giat lagi dengan bekerja dari rumah. Selain tetap mengerjakan dokumen terjemahan, saya juga mulai mengaktifkan lagi akun YouTube Channel yang sempat sepi. Saya coba buat video dan unggah seminggu sekali dengan harapan monetasinya bisa dipakai buat menambah uang dapur.

“Saya buka konveksi masker sekarang Mba Mita. Lumayan nih sehari bisa kirim berlusin-lusin ke luar Jawa.” Pesan tersebut masuk ke ponsel saya.

Seketika hati saya menghangat. Bahagia membaca pesan dari Nilam.

”Doakan usaha baru saya ini lancar ya Mba Mita. Saya bisa fokus kerja lagi, melunasi utang-utang saya yang sempat tertunda.” Katanya lagi.

Aamiin. Jawabku kencang. Tidak ada lagi selain doa dan pengharapan yang dilangitkan tinggi-tinggi di saat seperti ini. Kepada Sang Pemilik Kehidupan, kami berserah diri. Beradaptasi dengan kondisi sulit ini, bergandengan tangan supaya semua terlalui. Kondisi keuangan normal kembali.