Pengalaman Kena Quarter Life Crisis dan Cara Menghadapinya

Quarter life crisis adalah crisis yang biasa dialami oleh seseorang ketika menginjak usia 20-30 tahun Sumbersari gambar Pixabay.com

Quarter life crisis adalah crisis yang biasa dialami oleh seseorang ketika menginjak usia 20-30 tahun Sumbersari gambar Pixabay.com

Like

Be-emers, Quarter Life Crisis adalah tema utama yang akan kita bahas hari ini. Sebuah tema yang langsung membuat diri saya flashback ke masa lalu. Lebih jelasnya mari kita ke pokok bahasannya.
 
Sebagian orang mungkin merasa asing dengan istilah Quarter Life Crisis, tetapi setelah mengetahui maknanya bisa saja hal tersebut ternyata pernah dialami, seperti halnya saya pribadi.
 
Mengutip dari Jalin.co.id yang dimaksud Quarter Life Crisis dijelaskan oleh Alex Fowke, psikolog klinis dari Royal Holloway, University of London sebuah periode kehidupan seseorang yang merasakan ketidakamanan, keraguan, dan kekecewaan mengenai karier, hubungan, dan keuangan. Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai krisis seperempat abad. 
 
Mungkin istilah krisis seperempat abad, karena biasanya hal ini terjadi pada rentang usia 20 sampai 30 tahun. Hal itu juga yang pernah penulis alami. Bisa dibilang waktu itu adalah salah satu titik terendah dalam hidup saya. Merasa rendah diri dengan pencapaian dan bimbang akan masa depan. Pekerjaan yang belum stabil dan gagal dalam membina hubungan. Alasan kompleks untuk merasakan apa yang disebut Quarter Life Crisis.
 
Ketika itu, saya baru saja mendapatkan gelar S1. Bukan rasa bangga yang didapatkan tetapi justru tamparan dari kenyataan hidup yang menyakitkan.

Setelah lulus SMA di usia sembilan belas tahun, kemudian istirahat untuk mendinginkan otak. Tidak langsung melanjutkan pendidikan, justru saya memilih bekerja di sebuah perusahaan elektronik. 
 
Dua tahun bekerja sebagai karyawan kontrak, akhirnya saya memutuskan untuk kuliah. Setelah empat tahun berlalu gelar sarjana didapatkan.

Sayangnya, kenyataan hidup tidak sesuai ekspektasi. Mengambil jurusan pendidikan dan bekerja sebagai guru honorer tidak lantas membuat saya berpuas diri.

Gaji di bawah UMR, usia tidak lagi muda dan pasangan juga belum punya. Melihat ke sekitar, kenyataan semakin menyakitkan. Teman-teman seangkatan telah mapan, menikah dan punya anak. Sementara saya tidak punya apa-apa dan tidak punya siapa-siapa.
 
Hati dan pikiran dipenuhi ribuan tuntutan dan pertanyaan yang sulit untuk mendapatkan jawaban.
 
Bagaimana membalas budi kepada orang tua yang telah membantu membiayai kuliah, sementara untuk diri sendiri saja, kesulitan?
 
Bagaimana menghadapi pertanyaan-pertanyaan teman, saudara dan orang tua. "Kapan menikah?"
 
Haruskah menerima pinangan orang, sementara hati tak ada perasaan? Namun, jika menolak ...
 
Oke, Be-emers, kita skip flashback-nya. Cerita pengalaman di atas hanya sebagai gambaran mengenai Quarter Life Crisis.

Baca Juga: 3 Tips Mengatasi Quarter Life Crisis karena Finansial, Salah Satunya Perbanyak Bersyukur
 


Ciri-Ciri Quarter Life Crisis

Lebih lanjut mari kita indentifikasi Quarter Life Crisis melalui ciri-cirinya dan penyebabnya secara umum yaitu sebagai berikut:
 

1. Merasa Tidak Puas dengan Pencapaian yang Diraih

Perasaan tidak puas bisa muncul karena merasa tidak yakin dengan pilihan karier dan pekerjaan. Sehingga sering kali menimbulkan pertanyaan dalam diri misalnya: apakah ini pekerjaan yang tepat? Apakah sesuai dengan minat dan bakatku? 
 

2. Merasa Ragu-ragu 

Seseorang mungkin akan meragukan kemampuannya sendiri dan bimbang akan keputusan yang diambil. Apakah ini pilihan dan jalur yang tepat?
 

3. Masalah Keuangan

Masalah keuangan bisa menimpa siapa saja. Namun pada kondisi ini, seseorang itu kerap merasakan kekhawatiran mengenai stabilitas keuangannya. Contohnya seperti beban utang yang harus dibayar, sulit menabung dan merasa tidak akan meraih tujuan jangka panjangnya.
 

4. Perasaan Kesepian 

Seseorang mungkin merasa terjebak dalam kesepian panjang. Walaupun dikelilingi oleh teman dan keluarganya. Bukannya merasa ditemani, justru membandingkan kehidupan dirinya dengan orang sekitar. Akhirnya ia merasa gagal dan tertinggal jauh dari teman-temanya yang menurutnya sudah sukses.
 

5. Tekanan Sosial

Hal ini sering kali terjadi, terlebih kita yang hidup di Indonesia. Ketika sudah lulus atau mencapai usia tertentu, lingkungan mulai mempertanyakan status sosial kita. Bagaimana karir, hubungan percintaan dan lain sebagainya. Membuat seseorang merasa dituntut untuk memperoleh pencapaian yang sama dengan orang lain.