Penjual Angkringan (Sumber Gambar : Koleksi Pribadi)
Likes
Pandemi Covid 19 telah memasuki bulan kelima. Efeknya jelas, Indonesia diambang resesi. Triwulan II ini, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi minus lebih dari 5 persen. Mungkin, jika di bulan Maret lalu, saat awal pandemi, pemerintah memutuskan lock down, seperti kata Presiden Jokowi, ekonomi Indonesia saat ini minus 17 persen.
Wajar jika kemudian Presiden terlihat gusar dengan kinerja menteri-menterinya. Serapan anggaran sangat rendah, di kisaran 20 % saat belanja pemerintah satu-satunya harapan untuk menyelamatkan ekonomi nasional dari resesi. Sebelumnya Presiden marah di masa pandemi, menteri kok bekerja normal-normal saja. Bulan-bulan ini adalah pertaruhan kinerja pemerintah untuk tidak jatuh ke dalam lubang resesi.
Kuncinya satu, pemerintah tidak terlalu takut kepada covid-19. Penyebab resesi adalah melambatnya perputaran ekonomi karena kita bersembunyi dan lari dari covid-19. Solusinya adalah new normal, kita menjalani kehidupan ekonomi dengan normal plus protokol kesehatan.
Jika pilihan kita adalah selamat dari resesi, maka melonggarkan kebijakan pembatasan sosial seluas-luasnya perlu kita ambil. Karena di setiap pelonggaran itu, terdapat pergerakan ekonomi. Ada belanja yang memutar distribusi uang, barang dan jasa.
Maka tidak mengherankan, jika pemerintah memutuskan untuk melonggarkan status zona kuning. Jum'at kemarin (07/08) Menko PMK, Menteri Pendidikan, Menteri Agama, hingga Mendagri sepakat kemungkinan-kemungkinan dibukanya sekolah di zona kuning. Andaikan pembatasan sosial tidak menimbulkan gelombang resesi, maka pemerntah pun akan konsisten dengan potensi bahaya yang ada pada zona kuning.
Tapi, keadaan di lapangan untuk beberapa sektor dan pekerjaan lebih parah. Termasuk guru PAUD yang terlebih dahulu mengalami resesi. Bagaimana memberikan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) kepada anak-anak PAUD. Jika tidak ada PJJ, berarti samasekali tidak ada pembelajaran, bagaimana menarik iuran bulanan?
Apakah kebijakan di atas tidak berbahaya? Jelas berbahaya. Namun, ada satu titik dimana resesi akan lebih berbahaya dari Covid-19. Resesi bisa mengakibatkan banyak hal, baik dalam skala mikro atau makro. Tergantung pula, kemampuan pemerintah menjaga stabilitas politik.
Resesi 1998 ataupun tahun 1966, lebih besar mana korban jiwa dan dampak ekonominya dibandingkan pandemi covid_19 ini? Resesi pun mengakibatkan stress, stroke, kematian ataupun bunuh diri.
Maka, tak heran kemudian pemerintah semakin berani membuat berbagai kebijakan bagi-bagi uang. Terakhir, Menaker akan membagikan subsidi penghasilan bagi 600 ribu per bulan untuk 13 juta pekerja. Dan mungkin akan ada menyusul program bansos yang baru, sebab jika kita benar jatuh dalam resesi, biaya untuk bangkit akan jauh lebih berat.
Jika tabungan telah habis tanpa sisa, tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali berhutang. Sebelum tabungan habis, kita harus segera keluar memutarnya. Pilihannya berani 'bersahabat' dengan covid_19. Tujuannnya tidak muluk-muluk yang terpenting tabungan kita tidak berkurang. Jangan berfikir untung, tapi bertahan hidup.
Ada yang lebih dahulu tidak masuk akal, selain rencana membuka sekolah tatap muka di zona kuning, yaitu pilkada serentak Desember 2020 di 270 kota/kabupaten. Jika 4 bulan ini, jumlah kasus covid-19 mencapai 100 ribu, berapa untuk 4 bulan ke depan? Tentu penambahannya akan berlipat dari 100 ribu. Jika bulan Desember, jumlah kasus covid_19 mencapai 300 ribu atau 400 ribu, apakah Pilkada akan tetap berlanjut?
Lanjut atau tidak, waktu memutuskan masih panjang. Namun uang yang akan beredar baik dari KPU, paslon dan partai politik jauh lebih mendesak untuk menyelamatkan ekonomi.
Ada total 15 trilyun anggaran yang ditransfer ke masing-masing KPUD. Jika para paslon di tiap kabupaten/kota membelanjakan dana konsolidasi dan kampanye mencapai 50 milyar, dampak ekonominya akan besar sekali.
Jika pilkada akhirnya ditunda. Tidak masalah, kecuali para paslon yang habis tabungannya. Namun, tabungan itu setidaknya aka menjadi pelumas bagi pergerakan ekonomi nasional.
Maka, siapapun kita harus berfikir se-kreatif Jokowi. Asal tidak rugi, kita harus bertahan dengan aktivitas ekonomi yang kita miliki. Jangan tutup. Cobalah untuk terus bertahan.
Angkringan langgananku pun omzetnya jauh menurun. Walaupun tabungan cukup untuk hidup tahun depan, dia harus tetap bertahan. Bukan untuk dirinya, namun orang-orang yang titip gorengan, nasi bungkus, 'sundukan, dan snack tetap harus bertahan hidup pula.
Demikian pula, penjual mie ayam di pinggir lapangan desaku, yang biasanya ramai pun menjadi relatif sepi. Namun, dia juga sadar harus tetap buka. Ada pasar yang harus dia kunjungi setiap hari. Ada banyak pedagang di pasar yang juga bertahan hidup.
Pasar desaku pun bernasib sama. Biasanya, sekitar 5 penjual ayam berjualan hingga malam hari. Dari sebelum shubuh hingga pukul 9 malam. Kini, mereka bergantian buka hingga sore hari. Namun, mereka tidak boleh menutup warungnya. Ada penjual ayam yang lebih dahulu telah mengalami resesi.
Walaupun kita sepakat, pandemi ini kecil harapannya untuk turun, hingga vaksin diproduksi awal tahun depan. Namun kita tidak harus terus bergerak. Jika kita berhenti, kita akan jatuh ke dalam palung resesi.
Komentar
10 Aug 2020 - 17:47
alhamdulillah
10 Aug 2020 - 09:41
Sangat berguna artikelnya
10 Aug 2020 - 09:38
Sangat bermanfaat
10 Aug 2020 - 09:37
Sangat bermanfaat sekali artikelnya
10 Aug 2020 - 09:33
Sangat bermanfaat