Ekonomi Digital: Nafas Baru Perekonomian Indonesia

Ilustrasi (foto: freepik.com)

Like

Negeri ini akan menyongsong sebuah periode di mana anak muda akan punya panggung lebih luas dalam segala bidang. Periode yang digadang-gadang mulai terjadi pada 2020 ini kerap disebut sebagai bonus demografi. Indonesia akan diisi oleh 180 Juta masyarakat produktif yang didominasi oleh generasi Z dan Milenial. Kedua generasi yang tumbuh bersama teknologi canggih di setiap kesehariannya ini punya segudang potensi bagi tanah air.

Di era digital ini, teknologi miliki andil besar terhadap perkenomian suatu Negara. Presiden Joko Widodo bahkan telah mencanangkan Transformasi Ekonomi Digital Indonesia dalam kurun 4,5 tahun mendatang. Menurut Jokowi, Indonesia bisa saja kedatangan profit luar biasa bila menggenjot berbagai sektor ekonomi digital.

Dilansir dari CNBC Indonesia, Jokowi telah siapkan “ramuan” agar Indonesia berjaya di dunia ekonomi digital. Pertama, membenahi infrasturktur penunjang dengan maksud meningkatkan aktivitas ekonomi. Infrasturktur yang mumpuni itu tentu akan sia-sia bila masyarakat kita tidak “melek” tekonologi.

Oleh karena itu, Jokowi juga upayakan pembangunan Sumber Daya Mansusia (SDM) supaya punya daya saing tinggi dengan kompotitor dari seluruh dunia. Sebagai ranah yang menggiurkan bagi investasi, Jokowi tidak lupa ingin mengamankan investor agar tidak kabur dari Indonesia dengan hadirkan iklim investasi yang positif.

Keseriusan pemerintah menggodok ekonomi digital sebagai nafas baru perekonomian Indonesia tentu sudah tepat. Riset Information Systems Security Partners mengungkap Indonesia berpotensi mendapat pendapatan global dari ekonomi digital sebesar Rp 53,4 Triliun di 2020. Nilai ini semakin merangkak sejalan dengan angka pengguna internet yang tumbuh pesat.


Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) memaparkan sebesar 171 juta rakyat Indonesia tercatat sebagai pengguna aktif Indonesia. tidak main-main, pertumbuhannya mencapai 10,12 persen. Melihat pertumbuhan ini, Menteri Komunikasi dan Informatika berani sesumbar Indonesia akan menjadi jawara ekonomi digital di dunia pada 2022 mendatang.

Semua orang, tanpa terkecuali bisa mendapat manfaat yang luar biasa dari ekonomi digital. Nyaris tidak ada hambatam dalam memulai bisnis di era digital seperti ini. Calon pelaku usaha hanya perlu kreativitas dalam membangun bisnisnya. Sebab, ekonomi digital telah membukakan jalan baru meraih keuntungan.
 

Lumbung Rupiah Baru Itu Bernama E-Commerce 

Sudah saatnya pelaku usaha melirik tingginya aktivitas E-Commerce di Indonesia. Didi (2000) menjelaskan efisien menjadi alasan utama mengapa E-Commerce dapat tumbuh pesat. Adanya celah mengurangi pengeluaran dalam pemasaran, tenaga kerja, hingga over head cost menjadikan banyak pelaku usaha yang lebih membidik konsumennya di internet. Sebagai contoh, pelaku usaha tidak perlu mengeluarkan budget secara berkala untuk mencetak katalog dan membagikannya ke konsumen.

Jika dahalu pelaku usaha terbatas menjaring konsumen karena masalah waktu, lain halnya dengan yang terjadi di E-Commerce. Pelaku usaha sangat memungkinkan bisa membuka virtual shop 24 jam non-stop dan menjaring konsumen hanya dengan online di internet. Tidak adanya sekat dalam E-Commerce juga berpotensi menjangkau konsumen jauh lebih luas. 

Nilai transaksi E-Commerce seharusnya membuat setiap pelaku usaha tegiur untuk merambah ke E-Commerce . Menurut laporan katadata.co.id, transaksi E-Commerce di Indonesia mencapai Rp 144 Triliun pada 2018. Rupanya, anak muda lah yang menjadi aktor di balik kegemilangan E-Commerce di berbagai negara.

Survey dari PayPal dalam Katadata.co.id pada 2017 menunjukan pelaku E-Commerce dengan rentan umur 21-30 mendominasi permainan E-Commerce dengan 42 persen. Selanjutnya, rentan umur 31-40 berada di posisi ke dua dengan 38 persen. Lebih hebat lagi, ada 9 persen pelaku usaha yang tercatat masih berusia di bawah 20 tahun. Survey ini melibatkan lebih dari 1400 Merchant dan 4000 konsumen di Tiongkok, India, Hong Kong, Singapura, Indonesia, Thailand, dan Filipina.

Meski terkesan menggiurkan, Laporan Kominfo nyatakan angka pelaku usaha yang merambah ke E-Commerce masih lesu. Hanya ada 14 persen dari 58 juta UMKM Indonesia yang merambah ke E-Commerce. 

Agar menjadi raja ekonomi digital, pemerintah harus hadirkan “pemain-pemain” baru sektor ekonomi digital. Pemerintah harus menggenjot pelaku UMKM untuk merambah ke E-Commerce. Target besar pemerintah membuat 50% UMKM Go Digital hanya akan menjadi angan-angan bila tidak dibarengi langkah strategis menjaring ‘pemain’ baru.

Minimnya ‘pemain’ E-Commerce tanah air sangat disayangkan. Padahal, laporan Statista merilis ada 31,6 Juta pembeli digital yang siap merogoh koceknya. Pasar dengan nilai tinggi ini pada akhirnya akan menjadi milik Negara lain bila Indonesia tidak segera mengusai ekonomi digital. Masyarakat Indonesia harus menjadi produsen di ranah ekonomi digital, bukan lagi pasar atau konsumen.

Ekonomi digital juga tidak hanya menawarkan kemudahan dalam menciptakan pasar baru. Ekonomi digital juga memungkinkan terjadinya aktivitas menggalang dan menyalurkan dana antar masyarakat. Aktivias itu berjalan dalam sebuah sistem atau wadah yang dikenal dengan Financial Technology Peer To Peer Lending (Fintech P2P) . 
 

Fintech: Pelumas Baru UMKM Indonesia

Agar dapat melaju dengan cepat, kendaraan tentu harus diberi pelumas berkualitas. Begitu pun dengan pelaku UMKM di Indonesia. Pelumas dapat diibaratkan dengan dana stimulan untuk mengembangkan bisnis. selama ini, pelumas yang didamba-dambakan oleh pelaku usaha tidak lain ialah perbankan. 

Namun, Perbankan di Indonesia sedang kurang bersahabat dengan pelaku usaha. Pasalnya, Rasio Likuditas yang diterapkan mengalami kenaikan. Akibatnya, bank semakin selektif terhadap pengajuan kredit dana pihak ketiga. Hal ini lah yang perlu disayangkan karena punya potensi menghambat munculnya pelaku usaha baru di IndonesIndonesia.

Statistik Perbankan Indonesia (SPI) periode Mei 2019 melalui laman resmi Otoritas Jasa Keunagan (OJK) memaparkan kredit pihak ketiga non-bank tahun ini alami kenaikan 11,1% dibanding tahun lalu. penyaluran kredit bank umum konvensional kepada pihak ketiga non-bank senilai Rp 5.208,1 triliun.

Kondisi ini yang memicu kenaikan Loan To Deposit Ratio bank umum menjadi 96,19% per Mei 2019. Sementara itu, data year to year  menunjukan Loan To Deposit Ratio berada di angka 91,99% pada 2018. Angka Loan To Deposit Ratio yang semakin tinggi menunjukan semakin ketatnya perbankan menyalurkan kredit pada pihak ketiga, termasuk pelaku usaha.

Inklusifitas layanan keuangan menjadi aspek penting untuk mendorong produktivitas para pelaku usaha Inklusifitas keuangan memang telah dicanangkan oleh presiden melalui Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusfif (SNKI). Di dalam Perpres ini, ada harapan pemerintah dalam mewujudkan pertumbuhan produktivitas para UMKM. Salah satu implementasi. 

Salah satu ‘keran’ layanan keuangan yang inklusif ialah  Financial Technology Peer To Peer (P2p) Lending. Sebagai inovasi dalam layanan keuangan, Fintech hadirkan kemudahan dan transparansi bagi siapa pun yang memerlukan dana atau ingin menginvestasikan dananya pada orang lain.

Finantical Technology yang mengusung inklusifitas jelas harus dimanfaatkan oleh pelaku usaha, terutama UMKM . Hal yang paling nampak mungkin ialah tingkat seleksi terhadap calon kreditor yang lebih rendah ketimbang perbankan. Selain itu,  United Nations Environment Program (UNEP) memaparkan ada faktor lain yang membuat Fintech punya karakter yang selaras dengan inklusifitas layanan keuangan.

Kehadiran Fintech punya potensi dalam peningkatan akses dan desentralisasi layanan keuangan. Calon kreditor tidak usah risau tidak mendapatkan dana karena alasan tidak bankable lagi. Selain itu, aksesnya yang mudah memungkinkan calon kreditor yang berada di wilayah yang belum terjamah oleh bank-bank besar. Melihat hal ini, tidak salah bila Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut Fintech sebagai salah satu solusi pemerataan ekonomi Indonesia.

Program lama pemerintah dalam meyalurkan kredit ke pelaku usaha lewat perbankan perlu juga dievaluasi. Sebab, pelaku usaha kesulitan dana mengingat adanya regulasi mengenai agunan dalam program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Pelaku UMKM yang masih merintis bisnisnya menjadi kesulitan mendapat dana karena aset yang menjadi agunannya pun masih terbatas. Melalui Fintech, hambatan itu dapat teratasi mengingat fintech mengedepankan transparansi dan kemudahan bagi peminjam.

Transaparansi menjadi aspek andalan yang memudahkan semua pihak yang terlibat. Melalui teknologi kecerdasaran buatan, Fintech memungkinakan adanya transaparansi data. Meski begitu, pekerjaan berikutnya bagi pemangku regulasi ialah menjaga data ini agar tidak disalahgunakan. Lalu, ada pula efiiensi dan kecepatan Fintech dalam memproses layanan dari awal hingga akhir.

Layanan Fintech sebenarnya telah menjamur di Indonesia. Hingga Agustus 2019, Otoritas Jasa Keuangan telah mencatat ada 128 Fintech yang terverifikasi. OJK juga mengungkap penyaluran dana Fintech dapat dikatakan moncer. Pasalnya, data yang dikeluarkan OJK pada Juli 2019 menyatakan sudah ada 32,97 Trilin Rupiah yang telah disalurkan pada peminjam.

Fintech menjadi jalan baru bagi pelaku usaha. Kemudahan mendapatkan dana ini menjadi langkah yang berptonsi memperluas jaringan bisnis. Membuka gerai baru, memperbaharui alat produksi, hingga memperluas distribusi dapat menjadi opsi setelah mendapat kredit ini. 

Fintech bukan hanya tempat bagi mereka yang membutuhkan dana. Mereka yang ini menginvestasikan dananya juga bisa cuan  lewat Fintech. OJK telah merisilis, sudah ada 512.640 rekening lender atau pemberi pinjaman yang tercatat hingga Juli 2019. 

Angka lender itu masih alami ketimpangan dibanding angka borrower. Hingga Juli 2019, OJK mencatat ada 39.804,57 akun borrower dalam Fintech.  Dengan kata lain, ada lebih dari 39 juta entitas yang siap menerima kucuran dana lender. Kedua entitas yang belum seimbang ini dapat dijadikan peluang bernivestasi yang cemerlang.

Investasi di Fintech menjadi alternatif dari instrument keuangan lain seperti saham, reksadana, dan obligasi pemerintah. Alternatif yang muncul karena perkembangan teknologi ini pun terbilang dapat lebih menggiurkan. Hal ini muncul dari tingginya bunga dalam praktik Fintech ini.

Kekhawatiran terhadap kredit macet perlu disingkirkan oleh borrower. Pasalnya, statistik menunjukan Tingkat Keberhasilan 90 (TKB 90) menunjukan grafik yang positif. TKB90 diartikan sebagai ukuran keberhasilan peminjam dalam melunasi kreditnya dalam kurun waktu 90 hari. OJK telah merilis, TKB90 pada bulan Juli 2019 berada di angka 97,48% . Angka yang sangat tinggi untuk ukuran penyalur kredit yang baru di Indonesia. maka, investasi di ranah ekonomi digital pun menjadi fenomena yang menyimpan potensi cuan tinggi bagi masyarakat Indonesia.

Start up Fintech Peer to Peer (P2P) Lending sebagai wadah ini pun perlu adanya transformasi. Bukan sekedar hanya menambah kuantitasnya, geliat ekonomi baru ini perlu pengawasan yang ketat. Namun ketat bukan berarti mencekik. Artinya, pengawasan yang perlu menjadi sorotan ialah mencegah praktik-praktik kecurangan yang terbilang baru seperti penyalahgunaan data pribadi. Hal itu baik agar inovasi terbaru dapat berkembang bila peraturan yang ditetapkan tidak membatasi pelaku ekonomi digital.

Selain mendorong munculnya Start up Fintech baru, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga punya langkah startegis lain dalam menghidupkan nafas baru perekonomian Indonesia ini. Dikutip dari laman resminya, Ketua BKPM Thomas Lembong sejalan untuk tidak memberlakukan regulasi yang sangat ketat bagi pemain financial technology. Dari perspektifnya, start up Fintech tidak akan berpengaruh pada system perekonomian layaknya perbankan.

Di tengah perkembangan pesat ini lah, tidak salah bila menyebut ekonomi digital sebagai nafas baru bagi perekonomian Indonesia. sebuah alternatif baru bagi masyarakat yang ingin mendapatkan atau menyalurkan dananya telah terbuka. Agar nafas baru tetap ada, pemerintah perlu mendorong masyarakatnya agar mau berwirausaha serta menciptakan iklim yang positif bagi Investasi.