
Era pertanian menggunakan teknologi (Sumber gambar: Freepik)
Like
"Capek banget gue kerja, lebih enak nanem cabe aja enggak sih di Purwokerto?"
Bima adalah pria berusia 24 tahun yang kini bekerja di salah satu perusahan teknologi yang bergerak di bidang jasa perjalanan luar negeri. Hari-harinya diisi dengan pekerjaan yang sangat menuntut analisa data meskipun gaji yang diterimanya setiap bulan juga cukup menggiurkan bagi kolega seusianya.
Bagi Bima, bekerja di perusahaan teknologi memang keputusan yang secara sadar sudah ia impikan sejak bangku kuliah. Ia juga menyukai pekerjaan yang ia lakukan. Kalau kata orang sekarang: passion. Tetapi, tetap saja ia merasa perasaan lelah yang bekalangan sering ia alami dalam beberapa bulan terakhir.
Bagi generasi Z, bekerja di sebuah perusahaan teknologi adalah impian. Bagaimana tidak, banyak anak muda yang lebih suka datang ke kantor degan menggunakan kaos dan celana jeans saja.
Benefit seperti sarapan, makan siang, kopi, dan camilan berlimpah serta gaji yang kompetitif membuat industri ini menjadi sangat kompetitif di mata anak muda. Para pekerja di bidang teknologi ini akrab disebut "tech bros" di media sosial.
Tapi di sisi lain, bekerja di bidang ini juga memiliki tantangan yang cukup serius. Istilah 'technostress' banyak digunakan untuk mendeskripsikan tentang stres dikarenakan penggunaan komputer yang berkepanjangan. Benarkah?
Berdasarkan studi literatur terkait riset yang menghubungkan pekerjaan dengan teknologi baru, burnout pada pekerja teknologi terjadi karena kurangnya informasi dan pelatihan. Mereka juga kadang merasa tidak aman dalam menggunakan teknologi terkini.
Tuntutan pekerjaan bagi para 'tech bros' ini membuat mereka bermimpi untuk slow living di sebuah desa.
Bagi mereka, hidup dengan bertani sayur-sayuran di kota kecil seperti Purwokerto atau Salatiga adalah pilihan yang lebih baik dibanding bekerja melakukan coding, analisis data, dan presentasi di depan Board of Director.
Sebenarnya, hal ini juga masalah utama ketenagakerjaan pertanian di Indonesia. Dalam jurnal Gambar Krisis Petani Muda Indonesia yang dipublikasikan di Agriekonomika, petani yang usianya lebih dari 55 tahun terus meningkat, petani yang usianya masih produktif semakin berkurang. Fenomena ini disebut sebagai aging farmers.
Bagi anak muda, pendidikan yang semakin tinggi membuat mereka lebih selektif dalam memilih pekerjaan. Padahal, petani produktif sangat dibutuhkan untuk memaksimalkan produksi pangan di area pedesaan.
Oleh karena itu, masalah krisis petani produktif ini perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak agar tidak mengancam ketahanan pangan di Indonesia.
Tulis Komentar
Anda harus Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.