Pentingnya Kedaulatan Pangan (Foto Freepik.com)
Likes
Di era digital, pertanian bukan lagi pekerjaan kuno. Dengan bantuan teknologi seperti drone, sensor tanah, dan e-commerce, petani bisa menjadi inovator, pengusaha, sekaligus penjaga ketahanan pangan nasional.
Petani juga berkontribusi langsung pada keberlanjutan lingkungan dan ekonomi lokal. Jadi, menjadi petani berarti cerdas, berdampak, dan berjiwa pemimpin.
Sebagai bagian dari generasi muda dan cucu seorang petani, saya memahami betul perjuangan dan tantangan yang dihadapi para petani. Kini, banyak anak muda telah menyadari kerasnya realitas di dunia pertanian, sehingga tak sedikit yang memilih beralih profesi.
Menjadi petani di Indonesia bukan sekadar menanam dan memanen. Pekerjaan ini menuntut ketangguhan mental, kekuatan fisik, modal besar, serta kemampuan beradaptasi yang tinggi.
Tak jarang generasi muda disalahkan, karena enggan terjun ke pertanian. Padahal, tantangan di lapangan sangat nyata.
Biaya produksi tinggi, upah buruh harian bisa mencapai Rp100 ribu, belum termasuk pupuk, pestisida, atau sewa lahan bagi yang tidak memilikinya.
Risiko kerugian pun besar jika panen gagal. Akses terhadap pupuk bersubsidi sering kali terbatas dan berbelit, sementara pupuk non-subsidi harganya bisa dua kali lipat. Belum lagi ancaman hama dan penyakit yang menambah biaya produksi.
Baca Juga: Dari Hobi Jadi Cuan! Ide Bisnis Sampingan Bidang Pertanian untuk Pemula
Harga hasil panen juga tak menentu. Saat panen melimpah, harga jatuh dan keuntungan justru dinikmati tengkulak dan pedagang. Sistem distribusi yang ada masih belum berpihak pada petani, mereka hanya menerima sedikit dari nilai jual produk yang dikonsumsi masyarakat.
Sebagai cucu petani yang memiliki lahan pribadi untuk konsumsi keluarga, saya menyaksikan langsung bahwa seharusnya petani bisa hidup sejahtera.
Namun kenyataannya, baik yang mengelola lahan sendiri maupun orang lain, banyak yang masih hidup dalam keterbatasan. Akses modal sulit dan banyak kebijakan tidak tepat sasaran. Bantuan alat, benih, dan pelatihan pun seringkali hanya bersifat simbolis.
Tak heran bila banyak petani, termasuk generasi muda, akhirnya menyerah dan beralih profesi. Mereka merasa kerja keras mereka tidak berbanding lurus dengan hasil yang diperoleh. Selain itu, lahan pertanian makin sempit akibat alih fungsi ke sektor industri dan perumahan.
Harga sewa lahan naik drastis, sementara membeli lahan semakin mustahil. Banyak lahan juga tidak subur, sulit dijangkau air, dan tak layak untuk pertanian intensif. Perubahan iklim yang tidak menentu turut memperparah situasi.
Peralihan musim yang tidak jelas membuat petani rentan salah tanam, gagal panen, hingga alami banjir dan kekeringan. Teknologi pertanian sebenarnya bisa membantu, namun mayoritas petani Indonesia berusia di atas 45 tahun dan belum terbiasa dengan teknologi.
Meskipun anak muda memiliki potensi membawa inovasi, kendala modal dan kurangnya dukungan menjadikan mereka ragu untuk terjun ke sektor ini. Oleh karena itu, menjadi petani bukanlah profesi yang mudah.
Ini adalah pekerjaan penuh tantangan yang menopang ketahanan pangan nasional. Sudah saatnya kita dorong hadirnya kebijakan dan ekosistem pertanian yang berpihak pada petani. Bila generasi muda difasilitasi dengan akses teknologi, lahan, dan pasar yang adil, pertanian Indonesia bisa berkembang pesat.
Petani bukan pekerjaan yang harus ditinggalkan dengan semangat muda dan inovasi, justru petani bisa menjadi agen perubahan dan pemimpin masa depan. Mari ubah cara pandang dari petani yang tertinggal, menjadi petani yang memimpin.
Tulis Komentar
Anda harus Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.