Mengharap Masa Depan (Sumber: Laura Ramadani)
Likes
Di zaman purba, tempat tinggalku adalah dasar laut yang terangkat, lalu menjadi perbukitan, kerang-kerang yang tertempel di bebatuan adalah buktinya, lalu tanah pun terbentuk seiring waktu.
Baca Juga: Kita, AI, dan Pertanian: Apa yang Harus Kita Lakukan?
Hampir tidak pernah dicangkul karena keras, ketika kemarau atau bantat ketika musim hujan, istilahnya gubal. Pengolahan tanah menggunakan sejenis cangkul mini bermata tebal yang disebut gathul, atau lengis yang biasa untuk memecah batu.
Traktor sulit diterapkan bukan karena tidak canggih, tetapi karena batu cadas yang terpendam dalam tanah dapat merusak mata bajaknya. Lagi pula, kebanyakan lahan tidak datar, melainkan berundak. Jangankan traktor beroda empat, traktor tangan pun sulit menjangkaunya. Barangkali jika kelak ada robot humanoid, pengolahan tanah akan lebih efekif.
Nenekku dan kakekku, sebagaimana kebanyakan warga di sini, tidak pernah menanam dengan pertimbangan memenuhi permintaan pasar. Kebiasaanlah yang menjadi patokannya. Musim hujan pasti tanam padi atau jagung, pancaroba biasanya tanam ketela pohon atau kacang-kacangan, lalu musim kemarau tanam orok-orok, sejenis keluarga polong-polongan untuk penghijauan.
Meskipun kaya nutrisi, tajuk atau biji orok-orok jarang digunakan sebagai pakan atau pangan, mungkin warga takut keracunan. Tetapi daun orok-orok yang berguguran di penghujung kemarau akan menjadi pupuk alami di saat musim hujan.
Nenek dan kakekku bertani untuk memenuhi kebutuhan keluarga karena lahannya kurang dari 2 ha, demikian hampir semua petani di sini. Luas lahan menjadi alasan tujuan bertani untuk perdagangan atau untuk konsumsi sendiri.
Tulis Komentar
Anda harus Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.