Mendadak Menjadi Guru Bahasa di Masa Pandemi

Sumber gambar: Victoria Kurpas - shutterstock.com

Like

Menjadi kreatif di masa pandemi bukanlah pilihan, melainkan kewajiban atas bentuk reaksi wajar masyarakat terhadap urgensi dan perubahan signifikan yang terjadi akibat dampak pandemi itu sendiri. Reaksi ini sudah diprediksi dan memang diharapkan, karena kreativitas adalah penumbuh harapan ketika seseorang sedang menghadapi keterpurukan.

Dampak dari virus Corona ini bukan main-main. Baik dari bidang kesehatan, ekonomi, pendidikan, semuanya terjadi penurunan kualitas dan kuantitas dalam skemanya masing-masing. 
Ini pun juga menyerang setiap kelas dan kalangan. Baik muda dan dewasa, kaum menengah ke atas, ataupun kaum pas-pasan.

Tidak terkecuali saya sebagai fresh graduate tahun lalu yang mana keberangkatannya ke Jerman untuk menempuh Ausbildung dari beasiswa harus ditunda entah sampai kapan karena pandemi ini. Saya hanya mengandalkan uang dari bisnis kecil penjualan buku-buku yang telah saya lakukan sejak dua tahun lamanya untuk bertahan hidup. Penghasilannya pun tak menentu dan usaha jual buku yang saya lakukan masih sangat awam dengan promosi seadanya, jadi uang yang saya hasilkan dari usaha saya juga tak seberapa.

Namun semua berubah ketika saya bertemu seorang warga asing bernama Alan (nama disamarkan).
Alan dan saya bertemu di sebuah grup WhatsApp berisi orang-orang luar negeri yang ingin belajar bahasa Indonesia. Ia orang jerman dan tinggal di Stuttgart. Sedangkan saya sudah lima bulan mempelajari bahasa Jerman secara intensif. Uniknya, percakapan kami dilakukan dalam tiga bahasa: Inggris, Jerman, dan sedikit Indonesia karena kosakata Alan masih belum mumpuni.


Sampai akhirnya kita menjadi lebih dekat satu sama lain dan selalu bertukar cerita tentang kehidupan di masing-masing sudut benua kita. Rupanya Alan memiliki tunangan orang Indonesia di Jakarta yang akan segera ia nikahi, namun tertunda karena pandemi.

Oleh karena itu ia sangat amat ingin bisa berbahasa Indonesia. Ia sendiri pernah ke Indonesia dan berkata kepada saya bahwa ia merindukan segala hal mengenai negara ini. Suatu hari ia menawarkan untuk membantunya mempelajari bahasa Indonesia, dengan uang sebagai imbalannya. Saya terkejut, tapi tentu saja tawaran ini menarik dan saya tidak berniat menolaknya.

Saya pun berterus terang kepada Alan bahwa saya bukan guru, saya tidak punya sertifikat mengajar, dan tak pernah terlintas di kepala saya untuk menjadi seorang guru kursus. Namun ia bersikeras bahwa saya bisa mengajarnya bahasa Indonesia, alasannya karena selama ini percakapan yang kami lakukan selalu nyambung dan penuh pemahaman. Kalau sudah begini, siapa juga yang mau menolak rezeki di masa pandemi? Kami pun mendiskusikan jadwal, cara pengajaran, dan juga pembayaran.

Akhirnya, Alan dan saya pun membuat jadwal untuk kursus online kami. Yaitu pukul 8 malam WIB atau sekitar jam 3 sore waktu Stuttgart. Saya mengajarinya setiap hari Jumat dan Sabtu, 8x pertemuan per bulan. Setiap pertemuan berlangsung selama satu jam melalui aplikasi Zoom dan WhatsApp.

Untuk upah, memang sangatlah masuk akal walau menurut saya juga tidak terlalu 'wow' tapi sudah lebih dari cukup bagi saya. Karena pekerjaan saya sebagai guru kursus online ini pun tidak begitu berat dan saya menikmati setiap proses yang saya lalui dalam mengajar. Mulai dari menyiapkan materi berhari-hari sebelumnya sampai merekam video materi.

Saya juga mendapat pelajaran personal berharga yaitu bahwa mengajar adalah hal yang teramat sulit. Namun membuat orang mengerti tentang hal yang sebelumnya ia tidak mengerti adalah pencapaian yang luar biasa. Saya sangat gembira setiap Alan berhasil merangka kalimat bahasa Indonesia dengan benar dan turut menyempurnakan pelafalan kata bahasa Indonesianya.

Dia senang, yang mengajar pun ikut senang. Hal ini membuat saya rasanya ingin bersungkem dan minta maaf kepada guru-guru saya di sekolah dulu.

Seperti kutipan Malcom Gladwell di dalam buku terkenalnya, Outliers:

"Bukan berapa banyak uang yang kita hasilkan yang akhirnya membuat kita bahagia antara pukul sembilan sampai lima sore, namun apakah pekerjaan kita memenuhi kepuasan kita atau tidak.  Menjadi guru itu bermakna."


Oiya, selain menjadi guru bahasa, dagangan buku saya pun juga jadi laris manis selama pandemi. Mungkin ini adalah akibat dari waktu luang yang cenderung melimpah saat pandemi berlangsung. Saya menjual buku-buku saya di berbagai macam marketplace yang tidak perlu disebutkan namanya.

Lebih dari itu, buku-buku saya juga laris manis di Twitter, Instagram, dan Facebook. Dalam sebulan saya bisa meraup 500 ribu rupiah dari penjualan buku-buku saya. Cukup lumayan untuk penghasilan sampingan di masa yang sulit ini.

Kalau dipikirkan lagi, kondisi kita semua benar-benar mendesak dan membuka peluang bagi orang-orang untuk menghasilkan uang dengan cara yang tak terduga. Jika ada satu hal paling berharga yang saya pelajari dari masa pandemi, itu adalah bahwa kita semua benar-benar tetap bisa menghasilkan uang tanpa keluar rumah dan hanya memanfaatkan insting kita untuk bertahan hidup di situasi yang sulit. Karena sukses memang sangat terikat kuat dengan waktu dan peluang. Carilah peluang itu.