Komodifikasi Kemiskinan, Cari Cuan dengan Jual Kesedihan

Potret Kehidupan. (Sumber gambar: Dok. pribadi Reza Fauziansyah)

Like

Media sosial telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari segala aktivitas manusia saat ini. Dengan berkembangnya media sosial secara pesat banyak hal yang terjadi, salah satunya adalah komodifikasi kemiskinan.

Media sosial tanpa disadari tidak hanya memberikan informasi yang telah dikonstruksi, tapi juga mampu membentuk pandangan dunia dalam kehidupan sehari-hari melalui konten audio visualnya.

Oleh sebab itu, media sosial bisa membangun pola-pola budaya baru dalam kehidupan sosial. Maka media sosial juga dapat dikatakan mampu menciptakan pengalaman bersama bagi masyarakat sosial.

Budaya kaum Milenial dan Gen Z hari ini adalah budaya digital, yang segala aktivitasnya ditunjang dengan teknologi dan media sosial yang melekat erat didalamnya, nyaris tak bisa dipisahkan, begitu pula media sosial dan ekonomi digitalnya.
 

Ekonomi Digital


Ekonomi digital banyak melahirkan diversifikasi bisnis baru, Milenial dan Gen Z saat ini dihadapkan dengan tantangan ekonomi yang mengakibatkan berbagai hal dikomodifikasi atau dijadikan cuan melalui konten di kanal-kanal sosial media termasuk mempertontonkan kemiskinan.


Kita pantas khawatir kalau seandainya ironisasi kemisikinan banyak dipertontonkan melalui media sosial. Konten-konten yang diproduksi oleh para konten kreator di media sosial dinormalisasi masyarakat untuk mendekati kemiskinan dalam masyarakat kapitalis ini.

Baca Juga: Jauh Sebelum Indonesia 5 Negara Ini Sukses Pindah ke TV Digital

Fenomena berupa konten "memberi" yang diperlihatkan para selebriti, influencer, dan content creator memang menarik karena ada peristiwa kehidupan yang mampu merangsang rasa empati dan solidaritas yang dicontohkan oleh orang-orang kaya itu pada si miskin.

Orang miskin tidak hanya diberitakan melainkan ditolong. Tapi apakah betul "hanya" ditolong tanpa ada maksud lain?
 

Siapa yang Tidak Tertarik dengan Fenomena Kemanusiaan Ini?


Ketika ada yang mengkritik konten “memberi” tersebut, bisa saja dikritik balik misalnya dengan sanggahan berupa: ”konten ini bermaksud dengan niat baik untuk membantu orang miskin kok malah dikritik? Memangnya kalian para SJW (social justice warrior) sudah berbuat apa pada orang miskin?”

Seperti yang diketahui pada umumnya, banyaknya orang membuat konten kebaikan atau memberi si miskin itu memiliki banyak maksud. Salah satunya ada upaya untuk menarik iklan demi keuntungan dan inilah yang disebut dengan kemiskinan diproduksi menjadi komoditi.

Alih-alih mengungkap kemiskinan, konten semacam itu justru semakin mendegradasi dan menumpulkan kesadaran kritis di masyarakat.

Persoalan kemiskinan menjadi semata-mata soal nasib bagi yang mengalaminya. Bukan dilihat dari kebijakan pembangunan yang gagal.

Baca Juga: Di Tengah Krisis Global, Kok yang Kaya Makin Kaya?

Seharusnya kemiskinan juga mampu dilihat secara struktural, terkait akses terhadap pendidikan dan akses terhadap kesehatan yang terbatas dan dipersempit ruangnya karena tidak memiliki kemampuan moneter atau uang.

Budaya konsumerisme mendorong kaum Milenial dan Gen Z untuk bergerak dan berbisnis, hanya saja dengan kecepatan monetisasi sosial media merangsang para konten kreator memproduksi konten yang instan dan malnutrisi.

Perlu literasi dan kesadaran sosial yang tinggi untuk mampu menumbuhkan pengetahuan berbisnis dan mencari cuan yang sehat dan berkelanjutan, dengan tidak menyampingkan nilai moralitas di masyarakat, dalam konteks ini adalah menjual kemiskinan.
 
Apakah kamu merasa komodifikasi kemiskinan ini juga jadi masalah sosial, Be-Emers?

Punya opini atau artikel untuk dibagikan juga? Segera tulis opini dan pengalaman terkait investasi, wirausaha, keuangan, lifestyle, atau apapun yang mau kamu bagikan. Submit tulisan dengan klik "Mulai Menulis".
 
Submit artikelnya, kumpulkan poinnya, dan dapatkan hadiahnya!
 
Gabung juga yuk di komunitas Telegram kami! Klik di sini untuk bergabung.