Melakukan Trading Saham Tanpa Mengindahkan Pesan Warren Buffet

Pasar saham yang fluktuatif membuat lebih menarik bagi trader saham (Sumber: Shutterstock)

Like

Sebuah artikel di bisnis.com membuat saya tercenung. Investor kawakan Warren Buffet menyebut, selama pandemi, pasar keuangan tidak ubahnya seperti arena perjudian.

Kasino yang tutup dan imbauan untuk berada di rumah membuat para gambler kehilangan kesenangan. Pasar modal yang fluktuatif selama pandemi menarik perhatian. Mereka bertransaksi di bursa seperti berjudi, tidak ada waktu mempertimbangkan fundamental perusahaan.

Data Bursa Efek Indonesia (BEI) sejalan dengan kekhawatiran Buffet. BEI mencatat, rata-rata jumlah SID harian pada bulan Juni 2020 mengalami kenaikan sampai 84 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Dari sisi nilai transaksi, rata-rata nilai transaksi harian bulan Juni juga naik 25 persen. Uniknya, sebagian besar transaksi diramaikan investor ritel yang mencapai Rp7,19 triliun.

Transaksi non-ritel seperti asuransi dan dana pensiun, hanya Rp4,33 triliun. Capaian transaksi ritel yang lebih besar dibandingkan dengan non-ritel adalah yang pertama sepanjang sejarah.


Tanpa menyebutkan angka, CNBC.com juga menuliskan laporan yang sama. Jumlah investor dan transaksi di pasar saham Asia seperti India dan Filiphina mengalami kenaikan. Sebagian besar diantaranya adalah investor muda dan pemula.

Benarkah begitu? Apakah petuah dasar Warren Buffet tentang fundamental saham telah ditinggalkan? Benarkah kini, investor saham hanya mengejar keuntungan jangka pendek saja tanpa melihat fundamental?

Saya merasa tertohok. Apakah saya juga termasuk? Benarkah saya termasuk investor yang seperti kata Buffet, hanya bertransaksi pada apa yang akan dibayarkan oleh orang berikutnya. Bukan pada apa yang akan dihasilkan aset tersebut di masa mendatang?  

Selama setidaknya satu tahun terakhir, saya memang memposisikan diri sebagai trader di pasar saham. Bahkan, ketika pasar keuangan sangat bergejolak, saya merasa lebih nyaman di posisi tersebut.

Trading saham membuat saya merasa harus terus mengasah keterampilan. Saya juga dipaksa terus membaca berbagai berita, buku atau berbagai sumber lain yang relevan.

Selain itu, saya juga lebih terpacu untuk lebih cepat dalam memperhitungkan berbagai sentimen. Membuat keputusan yang cepat dan tepat. Juga mempraktikkan keterampilan membaca analisa teknikal.

Sebagai muslim, saya juga yakin investasi saham bukan judi. Sejalan dengan fatwa MUI. Saham adalah salah satu instrumen investasi dengan dasar ilmu. Bukan gerak liar tanpa dasar seperti lotre. Syaratnya satu, tidak melakukan tindakan kecurangan dan menyalahi adab jual beli.

Apakah menjadi trader berarti mengindahkan kaidah fundamental? Seperti yang selalu dipesankan Warren Buffet?

Saya rasa tidak. Selama tiga bulan pandemi, pasar saham sangat menantang dan menarik. Fluktuasi yang tinggi, menjadi kesempatan besar untuk memperoleh cuan yang juga besar.

Sesuai dengan prinsip investasi, high-risk-high-return. Kendati begitu, saya mencatat beberapa hal dasar yang harus tetap menjadi prinsip dasar.

Di masa pandemi, saya tidak pernah melirik saham di luar LQ45. Seberapapun menarik dan atraktifnya saham diluar LQ45 bergerak, saya tidak tertarik untuk memasukkanya dalam portofolio. Ini prinsip. Dengan memilih saham di anggota indeks LQ45, saya memastikan untuk investasi pada perusahaan yang memiliki fundamental bagus.

Di akhir Maret 2020 lalu misalnya, BBCA sempat menyentuh level Rp22.000/lembar. Saat itu, investor panik dan lebih memilih aset yang aman. Tidak peduli sebagus apapun kinerja BBCA, investor melakukan aksi jual. Tidak ada saham yang tidak terkena getahnya.

Namun, setelah kecemasan awal mereda, BBCA kembali bergerak menghijau. Sesuai dengan fundamentalnya. Harga yang murah menjadi salah satu alasan.

Memilih LQ45 juga memberikan saya semacam jaminan secara psikologis. Salah satu analis sekuritas, pernah menjelaskan, saham yang sehat, salah satunya ditandai dengan fluktuasi. Inilah yang membedakannya dengan saham gorengan.

Sampai akhirnya kembali menuju Rp30.000 (harga dipertengahan Juli 2020), BBCA selalu mencatatkan koreksi terlebih dahulu. Inilah saat terbaik untuk mengail harga yang rendah sebelum kembali naik. Ketika sudah naik 2-3 persen, saya biasanya mulai merealisasikan keuntungan.

Bila dibandingkan dengan tipe investor, trader di jangka pendek lebih menguntungkan. Tipe investor yang membeli BBCA di harga Rp23.000-25.000 tentu tetap dapat memperoleh keuntungan di jangka panjang. Bayangkan saja, dari posisi terendah di bulan Maret, BBCA sudah naik Rp7000/lembar saham.

Akan tetapi, di jangka pendek, saya melihat fluktuasi saham BBCA yang sangat lebar sebagai peluang besar. Dalam satu hari, pergerakan BBCA dapat mencapai Rp1000/lembar/hari.

Saya beberapa kali melakukan pembelian BBCA di pagi hari dan langsung menjualnya kembali di hari yang sama. Dari pengamatan saya, tidak sehari-dua, BBCA bergerak begitu lincah dalam satu hari.

Persentasenya bisa 2-4 persen satu hari. Angka yang cukup membuat tersenyum lebar bagi seorang ritel pemula seperti saya.

Tips kedua, yang juga penting bagi trader pemula, adalah membatasi portofolio saham dalam satu waktu. Batasan saya adalah lima saham dalam satu waktu. Dengan begitu, kita memiliki waktu dan kesempatan untuk menganalisis pergerakan saham tersebut.

Biasanya, setiap hari, saya memilih beberapa saham dari beberapa sektor. Perbankan, infrastruktur, serta ritel ataupun sedikit emiten berbasis komoditas.

Sejauh ini, pasar saham masih menjanjikan keuantungan yang menarik bagi saya. Bukan sekedar tebak buah manggis.

Bagaimana menurut kamu?