Mengatasi Permasalahan Bullying: Upaya Pencegahan dan Memberikan Efek Jera

Bullying adalah perilaku yang sangat tidak baik dan biasanya memberikan efek trauma untuk korbannya sumber gambar dari Pixabay.com

Like

Kasus bullying dapat terjadi di mana dan kapan saja. Ironisnya setelah jatuh korban, dan beritanya terlanjur viral, baru kemudian ada tindakan. Kenapa hal itu sering terjadi dan bagaimana cara mencegahnya?

 
Be-emers, karakter warga negara kita terkenal dengan kepeduliannya terhadap sesama. Sayangnya kepedulian tersebut tidak berlaku ketika ada ancaman.

Sehingga kebanyakan dari kita memilih jalan mencari aman. Ketika ada indikasi tindakan atau kasus pembullyan di depan mata, seseorang kerap mengabaikan dan tidak mau ikut campur. Hal itu dilakukan semata-mata demi melindungi diri. Karena takut jika kemudian ia yang beralih dijadikan korban.
 
Lebih mirisnya lagi, intuisi terkait di mana kasus bullying terjadi, lebih sering menutupi demi menjaga nama baik institusi.

Pada akhirnya korban dibungkam dan secara tidak langsung pelaku justru diuntungkan. Pada akhirnya pelaku-pelaku bullying yang merasa superior ini semakin menjadi bahkan buntutnya kasus serupa merajalela dan membudaya.
 
Be-emers, kasus bullying bisa terjadi di mana dan kapan saja. Seperti di rumah, di sekolah pada setiap jenjang, di perguruan tinggi juga di perusahaan. Baik itu terjadi di dunia nyata atau di dunia maya.
 
Seperti kasus bullying terbaru yang melibatkan seorang mahasiswa PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) yang diduga bunuh diri akibat bullying adalah bukti nyata bahwa masalah bullying benar-benar serius dan belum dapat diatasi dengan tuntas. Kasus-kasus bullying kerap terjadi berulang-ulang, mengapa?

 

Penyebab Bullying Kerap Terjadi

Ada beberapa hal yang membuat pembullyan terus terjadi yaitu:
 

1. Budaya Senioritas yang Merajalela 

Hukum rimba masih saja merajalela meskipun keberadaan hutan semakin tiada. Siapa yang kuat ia yang berkuasa.

Merasa sebagai senioritas dan punya kuasa berujung pada perilaku intimidasi. Budaya macam ini semakin sulit diatasi ketika hal tersebut menjadi sebuah tradisi yang kerap dimaklumi.
 

2. Kurangnya Tindakan Tegas dari Institusi

Berawal dari tradisi yang dimaklumi akhirnya ketika jatuh korban, intuisi menjadi lamban dalam menangani. Bukannya melindungi korban justru intuisi lebih sering melakukan tindakan pembungkaman demi menjaga nama baik sendiri. 
 
Kurangnya sanksi tegas bagi pelaku, serta minimnya dukungan terhadap korban, membuat pelaku tidak merasa jera. Maka jangan heran jika kasus-kasus bullying ini tidak teratasi dan bahkan terjadi berulang-ulang.
 
 

3. Minimnya Edukasi tentang Bahaya Bullying

Edukasi mengenai bahaya bullying dan dampak jangka panjangnya masih sangat minim. Masyarakat sering kali tidak menyadari bahwa tindakan mereka tergolong bullying atau menganggapnya sebagai candaan belaka.


Bahan sering kali terjadi pelaku bullying yang ketahuan pada akhirnya menjadi korban bullying berikutnya dengan pelaku berbeda. 
 
Masyarakat beranggapan bahwa hal tersebut adalah hukuman. Akan tetapi sebenarnya hal tersebut merupakan pembullyan berbalut sanksi sosial atau hukuman.
 
Jika kita telisik lebih dalam, sebenarnya cikal bakal bullying ini lahir hal-hal yang sepele. Misalnya saja di sebuah ruang kelas, ada seseorang yang melakukan hal nyeleneh atau hal-hal yang memancing reaksi dari yang lain (disoraki). Jika dibiarkan hal tersebut akan menjadi kebiasaan dan di lain kesempatan bisa meningkat menjadi olok-olokan.