Agrotechnopreneurship: Upaya Kolaboratif Untuk Bangkit dari Pandemi

Agro-technopreneurship ialah seni bersikap bijak dalam mengolelola limbah pertanian menjadi produk bernilai ekonomi (Sumber: BI, 2020)

Agro-technopreneurship ialah seni bersikap bijak dalam mengolelola limbah pertanian menjadi produk bernilai ekonomi (Sumber: BI, 2020)

Like

Gambaran Ekonomi Nasional dan Global

Desember 2019, merupakan permulaan gelombang besar yang siap mengguncang stabilitas perekonomian dunia. Sebuah kluster pneumonia muncul di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China.

Pneumonia tersebut disebabkan oleh infeksi new corona virus bernama SARS-CoV-2, atau lebih familiar dengan sebutan COVID-19. Kini COVID-19 bertransformasi menjadi pandemi global dan menyebar ke lebih dari 200 negara, tidak terkecuali negeri kita tercinta, Indonesia.

COVID-19, secara telak mengantarkan beberapa negara menuju jurang resesi. Bappenas (Mei 2020) menyatakan pada Triwulan I 2020 pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat hanya 0,3%, Inggris -1,6%, Jepang -2,2%, Jerman -2,3% Tiongkong -6,8%, dan Indonesia 2,97%.

Bahkan pada Triwulan II 2020, perekonomian Amerika Serikat terperosok pada level -32,9%, sedangkan Indonesia relatif lebih baik meski masih terkontraksi 5,32%. Setidaknya level yang lebih tinggi dari negara adidaya ini dapat menjadi sisi optimistik bagi Indonesia untuk melewati masa pandemi dengan gagah dan penuh ketangguhan.

Salah satu sendi utama kehidupan yang memiliki keterkaitan erat dengan kontraksi ekonomi global ialah ketahanan pangan. Juni 2020, FAO (Food and Agriculture Organization) merilis peringatan bahwa pandemi COVID-19 berdampak signifikan terhadap penurunan rantai pasok pangan (food supply chain) di kawasan Asia Pasifik, mulai dari manufaktur dan produksi, pemasaran, distribusi, hingga daya beli konsumen. Lantas, bagaimanakah kita menyikapi keadaan ini?


Agro-Technopreneurship

Pertanian adalah urusan hidup dan mati suatu bangsa

(Ir.Soekarno)

Sebagai negara yang gagah, kita perlu berpikir layaknya para founding father bangsa ini. Selalu ada peluang besar dalam setiap kesulitan. Langkah bijak dalam menghadapi krisis ialah menjadikannya sebagai titik kolaboratif guna membenahi segala bentuk kesemerawutan.

Ekonomi dan ketahahan pangan merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, sehingga perlu diselesaikan secara bersamaan. Jawaban atas kedua permasalahan tersebut ialah optimalisasi sektor pertanian melalui langkah strategis yang dinamakan agro-technopreneurship.

Mengapa pertanian? Karena pertanian adalah sektor yang mampu tumbuh positif (2,19%) disaat sektor lain tumbuh negatif pada Triwulan II 2020 ini.

Agro-technopreneurship, sebagaimana pernyataan Prof Endang Gumbira Sa’id dalam bukunya Agrotechnopreneurship Indonesia (terbitan IPB Press, 2010), adalah kemampuan mengelola pertanian dengan baik melalui pemanfaatan teknologi serta mengutamakan inovasi dalam pengembangan bisnis. Artinya, seorang agro-technopreneur selalu memendang pertanian dari perspektif nilai tambah (added value).

Definisi diatas menjadikan seorang agro-technopreneur melihat kelapa sawit tidak hanya menjadi CPO (crude palm oil), namun ia akan melihat hingga oleochemical, specialty fat, bioenergi, margarin, dan shortening. Ia pun memandang singkong hingga titik mocaf (modified cassava), bioetanol, bioplastik, serta berbagai produk turunan lain dari tapioka.

Dengan pemaparan panjang diatas, melalui perspektif agro-technopreneurship, penulis hendak memaparkan rekomendasi pengelolaan limbah menjadi produk bernilai ekonomi. Beberapa rekomendasi berikut dapat dilakukan secara kolaboratif dalam skala UMKM, sehingga membantu kita keluar dari kesulitan ekonomi di masa pandemi ini.


Natta de Cassava

Salah satu minuman kaya akan serat yang cukup familiar ialah nata de coco. Prinsip utama pada produksi nata de coco ialah mengubah bahan organik dalam air kelapa menjadi serat nata menggunakan bakteri Acetobacter xylinum. Prinsip yang sama juga dapat digunakan untuk mengubah limbah cair tapioka menjadi nata de cassava. Hal ini sudah dibuktikan dalam berbagai publikasi jurnal ilmiah.

Secara singkat, produksi nata de cassava dimulai dari penambahan gula 25 gram, urea 2 gram, dan cuka secukupnya (hingga pH 5) kedalam satu liter limbah cair tapioka. Selanjutnya keseluruhan bahan dididihkan selama 15 menit. Kemudian bahan dituang kedalam loyang, ditutup dengan kain, dan didinginkan hingga suhu ruang.

Setelah suhu ruang tercapai, ditambahkan starter sebanyak 100 ml kedalam bahan dan didiamkan (diinkubasi) selama 8 hari hingga terbentuk serat nata. Lembaran nata de cassava dicuci, dipotong membentuk dadu, serta ditambahkan larutan dengan flavour atau rasa tertentu dan dikemas dalam kemasan praktis untuk dijual.
 

Limbah Cair Tapioka dapat Dibuat Menjadi Nata de Cassava (Sumber: Tabloid SInartani, 2011)

Limbah Cair Tapioka dapat Dibuat Menjadi Nata de Cassava (Sumber: Tabloid SInartani, 2011)


Kertas Seni dari Limbah Jelly dan Agar-agar

Berbagai literasi ilmiah menyajikan data menarik terkait industri jelly dan agar-agar. Industri tersebut menghasilkan limbah padat hingga 65-70?ngan kandungan selulosa mencapai 30,18%, sehingga sangat layak dijadikan bahan baku kertas. Kandungan ligninnya pun hanya 5,76%, jauh dibawah Acacia mangium yang mencapai 28,51%, sehingga memudahkan proses penghilangan lignin.

Secara singkat, pembuatan kertas dari limbah industri jelly dan agar-agar dimulai dari pemasakan 1 kg limbah tersebut dalam 5,5 liter larutan alkali (NaOH) 10% selama 3 jam. Melalui proses pemasakan ini akan diperoleh pulp.

Selanjutnya, pulp dipisahkan dan dicuci sampai bebas dari larutan pemasak. Pulp dicetak menjadi beragam kertas seni untuk dipasarkan. Dari sisi karakteristik, pulp dari limbah padat jelly dan agar-agar memang sangat cocok untuk bahan baku kertas seni.
 

Kertas Seni Dapat Dibuat dari Limbah Jelly (Sumber: Manurung, 2010)

Kertas Seni Dapat Dibuat dari Limbah Jelly (Sumber: Manurung, 2010)

 


Gula Cair dari Limbah Kulit Singkong

Kulit singkong diketahui mengandung pati sebanyak 44-59%, sehingga potensial untuk dijadikan bahan baku gula cair. Pemanfaatan gula cair sebagai pemanis hingga saat ini masih sangat luas, terutama dalam industri makanan, minuman, dan kuliner.

Proses pembuatan gula cair dari limbah kulit singkong sangat sederhana. Dimulai dari pembersihan dan perendaman kulit singkong dalam air kapur selama 3 hari untuk menghilangkan racun sianida.

Selanjutnya, kulit singkong diblender/diparut hingga halus, kemudian ditambahkan air dan diaduk hingga merata. Bubur kulit singkong kemudian disaring dan diperas kedalam wadah untuk diendapkan. Pati yang telah mengendap dipisahkan dari air dan dikeringkan.

Langkah berikutnya ialah mengubah pati menjadi gula cair yang diawali dengan pencampuran 300 gram pati dalam satu liter air. Kemudian campuran tersebut dipanaskan pada api kecil (suhu sekitar 85dC) selama beberapa menit hingga terbentuk gel cair (tergelatinisasi).

Campuran yang sudah membentuk gel kemudian dilikuifikasi menggunakan α-amilase selama 3 jam. Proses dilanjutkan dengan sakarifikasi oleh amiloglukosidase selama 48 jam pada api sangat kecil (suhu sekitar 60dC) hingga terbentuk gula cair.

Langkah berikutnya ialah memanaskan larutan gula cair diatas kompor (suhu sekitar 100dC) selama 10 menit untuk menguapkan air, sehingga kadar gula semakin tinggi. Proses terakhir ialah pengemasan gula cair kedalam botol kecil untuk dipasarkan.
 

Gula Cair dari Kulit Singkong Sangat Bernilai Ekonomi (Sumber: Suripto, 2013)

Gula Cair dari Kulit Singkong Sangat Bernilai Ekonomi (Sumber: Suripto, 2013)