
Suasana Asri Desa Sumber Agung di Jember, Jawa Jawa Timur
Indonesia swasembada pangan? Bisa! Tapi ada caranya dan caranya tidak mudah.
1. Support ke petani, zaman Soeharto dulu (kata orang tua dan orangtuanya orang tua atau nenek), banyak penyuluhan ke petani. Kalau petani di Thailand saja teknologinya sudah dari Amerika, kenapa kita tidak? Kenapa tools dan metode yang petani kita sekarang lakukan masih (kurang lebih) sama dengan berpuluh tahun yang lalu?
Bagaimana caranya kita maju kalau sarjana pertanian kerja di bank? Apa intervensi pemerintah untuk membuat mereka berdaya di lapangan pertanian bukan di ranah bank/finance yang tidak mereka pelajari di bangku kuliah? Bagaimana bisa pertanian kita mau kalau ada gap pengetahuan yang terlalu tinggi dari petani dan teknologi pertanian terkini?
2. Sebagai anak petani, mama saya sering berkata. "Pupuk langka, kalau pupuknya ada dan mahal kita masih bisa beli. Kalau sudah pula mahal dan pupuknya tidak ada, cara belinya bagaimana?" Entah ini masalah dimananya, kenapa petani sampai bingung untuk bisa beli pupuk? Bahkan, petani yang punya uang pun kebingungan karena stok pupuk dimana-mana habis. Apa memang ini dibuat seperti ini? Karena... seharusnya masalah ini sudah bertahun-tahun ya, bukan hanya sekarang? Petani ini kan rantai pertama yang memberi kita makan (beras) setiap harinya. Kalau untuk menjadi rantai pertama saja tidak dipermudah, bagaimana?
Di sini sebenarnya Pupuk Kaltim bisa melihat celah. Pupuk ini pasar yang sangat besar sekali jika digarap dengan serius. Petani pasti perlu pupuk, titik!
Baca Juga: 3 Alasan Indonesia Harus Swasembada Pangan dan 5 Dukungan dari Pupuk Kaltim
3. Anak muda malas menjadi petani karena tidak ada uangnya. Percaya, tidak? Bertani itu seperti gambling. Orang tua saya kadang ketika panen, ketika harga beras murah. Bisa itu beliau cuma BEP, bisa juga rugi. Kalau harga beras sedang naik (biasanya kalau orang-orang sedang tidak panen, dan mama panen sendiri) ya bisa untung agak banyak.
Apa tidak bisa ya, pemerintah mengintervensi harga padi yang dibeli tengkulak ke petani? Siapa juga yang mau terjun ke bisnis model seperti ini? Apalagi anak muda. Anak petani kaya biasanya kuliah dan bekerja di kota. Sedangkan anak petani kurang mampu biasanya jadi TKW atau TKI. Kalau siklus seperti ini terus, yang jadi petani selanjutnya siapa? Apa kita mau impor terus?
Tulis Komentar
Anda harus Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.