
Ilustrasi Rojali dan Rojana yang sedang Merajalela (Foto Freepik.com)
Like
Suatu ketika saya diajak bicara dengan seorang teman yang tinggal di Australia. Dia berkata “Indonesia banyak punya mall, banyak sekali pengunjungnya. Wah, orang Indonesia suka belanja dan banyak uang!”
Sejenak saya berdiam diri apakah benar apa yang dikatakan oleh teman itu. Di Jakarta begitu banyak mall bertaburan dan hampir rata-rata menjelang awal bulan atau gajian, sepertinya mall diserbu oleh orang-orang yang datang. Sayangnya, pengunjung yang begitu banyak, tapi sepi pembeli. Apa yang dikerjakan oleh para pengunjung itu?
Jika saya perhatikan, ada 10 aktivitas yang dilakukan oleh pengunjung mall. Mayoritas mereka datang karena ada janji dengan teman, kolega, reuni dengan teman lama, tujuannya hanya makan, nongkrong sambil ngobrol di restoran atau cafe.
Mereka yang ingin belanja tapi tak bawa duit, ada yang mengajak anak-anak, keluarga untuk sekedar refereshing di mall karena di rumah udaranya panas dan ingin mendapat suasana yang nyaman di mall.
Ada yang ingin nonton di bioskop. Ada yang ingin mengunjungi salon perawatan atau gim karena di mall ada tempat fitness .
Namun, apakah semua orang yang datang itu berbelanja, atau mereka sekedar “window shopping”, datang untuk melihat-lihat cuci-mata, melihat harga dan akhirnya pergi tanpa membeli suatu apapun.
Bahkan, pegawai toko pun sampai cape untuk memperhatikan satu persatu orang yang masuk ke tokonya, tapi keluar lagi tanpa melakukan transaksi apapun.
Baca Juga: Paylater vs Pinjaman Online: Manakah yang Lebih Menguntungkan?
Fenomena Rojali dan Rojana
Rojali adalah singkatan dari rombongan jarang beli. Sementara Rohana adalah Rombongan hanya tanya saja.Mereka datang beramai-ramai ke mall, masuk ke outlet, bertanya, menjajal baju, tas branded, tanya harganya, tapi barang ditinggal tanpa dibeli .
Fenomena demikian itu membuat banyak pertanyaan dan ulasan untuk dipikirkan lebih lanjut.
Dikutip dari CNN, Alphonsus Widjaja, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia mengatakan bahwa fenomena ini menunjukkan daya beli masyarakat lemah.
Faktor daya beli lemah dari kelas menengah ke bawah, mereka tak punya uang yang cukup berlebihan untuk beli berbagai barang di Mall.
Namun, dikutip dari CNN, Bapak Sapto Soepriyanto, Direktur Bina Usaha Perdagangan Kementerian Perdagangan juga melihat fenomena ini sebagai perubahan perlilaku warga Indonesia dalam berbelanja.
Mereka tidak ingin berbelanja di toko fisik tetapi justru mereka berbelanja di toko online sejak pandemi covid 19.
Tulis Komentar
Anda harus Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.