Ilustrasi. (foto: freepik.com)
Likes
Sektor ekonomi digital tanah air melihat decade baru dengan penuh optimisme. Hal ini tidak lepas dari grafik perkembangan ekonomi digital Indonesia yang bergerak ke arah positif setiap tahunnya. Menengok laporan dari Google, Termesek, dan Bain bertajuk e-Conomy SEA 2019, Indonesia berjaya dengan menguasai 40% nilai ekonomi berbaris internet di Asia Tenggara. Nilai ekonomi digital Indonesia diperkirakan Google mencapai US$40 Miliar atau sekitar Rp 567,9 Triliun pada 2019.
Ekonomi digital memang menjadi jadi salah satu fokus pemerintah benahi ekonomi nasional. Pada periode kedua nya menjabat sebagai presiden, Joko Widodo bahkan telah merampungkan rencana Transformasi Ekonomi Digital Indonesia selama 4,5 tahun ke depan.
Dilansir dari bisnis.com, Jokowi tegaskan Indonesia tidak hanya akan menjadi pasar strategis ekonomi digital.lebih dari itu, Jokowi berambisi menjadikan ekonomi digital sebagai 'obat' current account deficit (CAD).
Riset Information Systems Security Partners mengungkap Indonesia berpotensi mendapat pendapatan global dari ekonomi digital sebesar Rp 53,4 Triliun di 2020. Nilai ini semakin merangkak sejalan dengan angka pengguna internet yang tumbuh pesat. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) memaparkan sebesar 171 juta rakyat Indonesia tercatat sebagai pengguna aktif Indonesia. tidak main-main, pertumbuhannya mencapai 10,12 persen.
Indonesia tidak hanya dapat dilihat sebagai pasar potensial saja. lebih dari itu, Indonesia juga terbilang produktif mengasilkan start up atau perusahaan rintisan. Start up ini disadari sebagai pilar penting dalam membangun ekosistem ekonomi digital tanah air.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate dalam pelaksanaan World Economi Forum (WEF) Januari 2020 silam memaparkan Indonesia memiliki 2193 start up hingga 2019. Dengan raihan jumlah start up tersebut, Indonesia masuk jajaran elite lima Negara dengan jumlah start up terbanyak di bawah Amerika Serikat (AS) , India, Inggris, dan Kanada.
Tidak hanya “kaya” secara jumlah, start up Indonesia juga terbilang progresif mendatangkan pendanaan. Menurut laporan Centro Ventures, nilai Investasi start up Indonesia menunjukan kenaikan sejak 2014 hingga 2018. Pada 2014, nilai investasi Indonesia hanya mencapai US$ 146 ribu, angka itu terus naik hingga mencapai puncaknya pada 2018 dengan total nilai investasi mencapai US$ 3,4 Juta. Perolehan nilai investasi di 2019 rupanya mengalami penurunan sebesar 40% menjadi US$ 2,4 juta.
Meski nilai investasi anjok pada tahun lalu, akan tetapi total kesepakatan pendanaan dengan start up lokal meningkat jumlahnya. Kesepakatan investasi melonjak dari 104 di 2018 dan 131 pada 2019. Itu artinya, semakin banyak jumlah start up yang telah mendapatkan pendanaan.
Skenario manis yang digadang-gadang akan menimpa start up di Indonesia sontak berubah dengan adanya penyebaran pandemi virus Covid-19. Pandemi ini sontak mengubah strategi seluruh ekosistem start up tanah air. Melalui sambungan telepon, Ekonom Universitas Pasundan Acuviarta Kartabi menyebut pandemi Covid-19 dapat merubah perkembangan start up lokal.
“Teknologi saja tidak cukup, semuanya harus bertransformasi menjadi tatanan perushaan yang produknya dibutuhkan oleh pasar. Menurut saya, di sini penting sekali membuat ide inovasi menjadi ide bisnis baru yang progresif dan tentunnya sedang dibutuhkan oleh masyarakat. ini mau tidak mau harus dilakukan start up kita, agar tidak bangkrut” Kata Acuviarta (30/04) .
Acuviarta melihat adanya pergeseran kebutuhan masyarakat yang terjadi selama masa pandemi Covid-19 ini. Hal ini terjadi mengingat semakin terbetasnya ruang gerak masyarakat sehingga berpotensi mengubah proses bisnis pelaku start up. Melakukan efisiensi, lanjut Acuviarta, menjadi langkah strategis jangka pendek yang harus dilakukan start up agar dapat melanjutkan operasionalnya.
Pandemi Covid-19 memang telah “memukul” start up lokal. Mereka yang paling merasakan dampainya ialah start up sektor travel and hospitality. Himabuan untuk #DirumahAja praktis langsung mematikan sektor pariwisata. Kondisi ini memaksa start up Airy tutup permanen. Melalui laman resminya, Airy mengumumkan operasionalnya berhenti sejak 31 Mei.
Meski tidak sampai menutup layanannya, beberapa start up lain juga harus memaksa efisiensi besar-besaran di tubuh perusahaannya. Cara ini pula yang ditempuh beberapa start up seperti Airbnb, WeWork, hingga Uber.
Selain operasional yang terganjal kebijakan physical distancing, beberapa investor juga cenderung memilih untuk melakukan wait and see pada sektor-sektor rawan terdampak Covid-19. Tidak ayal, start up banyak yang terseok-seok di tengah pandemic Covid-19.
“Ada beberapa sektor memang yang tidak bisa terhindar dari dampak pandemi ini. Tetapi, perlu diingat juga bahwa proses bisnis harus tetap berputar. Artinya, start up harus mampu hadirkan inovasi, tidak harus besar, akan tetapi masih bertautan dengan visi start up tersebut. ketika ada yang terhambat, buat lah lubang baru, ketika ada layanan yang mati, hadirkan fitur baru yang prospektif secara bisnis,” Pungkas Acuviarta.
Acuviarta juga menyebut situasi ini berlaku untuk semua “kasta” start up. Meski telah mendapat nilai valuasi tinggi, tidak berarti ada jaminan bagi perusahaan se kelas Unicorn bisa tetap bertahan. Semuanya bisa gulung tikar bila tidak cepat beradaptasi.
Menurut Acuviarta,Adaptasi yang dilakukan tidak mesti merubah visi bisnis yang telah dijalankan. Hal ini dapat diatasi dengan upaya pivot bisnis atau mengembangkan model bisnis baru yang masih sejalan dengan visi bisnis.
Salah satu adaptasi cepat dilakukan oleh start up travel and hospitality asal Hongkong, Klook. Pivot bisnis ini dilakukan karena lesunya arus pariwisata. Kondisi ini memaksa Klook berinovasi dengan hadirkan pengalaman rekreasi di rumah. Dilansir dari techinasia.com, CEO Klook Eric Gnock Fah menyampaikan perusahaannya sedang mencoba berbagai peluang baru saat ini.
“Peluang bisnis perjalanan global mungkin agak jauh sekarang, tetapi kami yakin untuk bisa memanfaatkan setiap peluang yang ada,” kata Eric.
Layanan bernama Klook Home ini memungkinkan pengguna tetap bisa berekreasi di tengah pandemi. Berbagai layanan disediakan, mulai dari konsultasi kebugaran, kursus keterampilan daring, hingga pemesanan jasa layanan perawatan tubuh dan penata rambut.
Di sisi lain, pola kehidupan masyarakat yang bergeser justru membuat start up ini semakin produktif saat pandemic Covid-19. Kopi Kenangan misalnya, perusahaan yang didirikan oleh Edward Tirtanata ini mengalami lonjakan kenaikan pemesanan daring sampai 50% .
“Kami estimasi untuk membuka setidaknya 500 gerai hingga akhir 2020,” Ujar Edward kepada Katadata.co.id.
Kinerja positif Kopi Kenangan juga berhasil mendatangkan stimulus pendanaan baru. Meski di tengah wabah corona, Kopi Kenangan masih mampu mendatangkan pendanaan seri B senilai US$109 Juta atau Rp.1,62 Triliun. Pendanaan baru ini dipimpin oleh Sequiola Capital, investor eksisting asal Hongkong.
Sementara itu, CEO dan Co-Founder Halo Fina Adjie Wicaksana berbicara perusahannya tidak terlalu terdampak secara bisnis. Start up di bidang digital financial advistory ini mengambil langkah dengan memaksimalkan integrated digital marketing.
Pergeseran yang cukup tajam terjadi di strategi layanan Halo Fina. Dari tiga pilar pemasaran Halo Fina, yakni Online Channel, Offline Channel, dan Parrtnership, Adjie melihat bahwa Online Channel lah yang saat ini menjadi saluran pemasaran utama Halo Fina.
“O Perubahan paling cepat yang harus kami lakukan yakni membauat program edukasi dan perecanaan keuangan secara online, yang tadinya direncanakan akan tatap muka. kami pun menjadikan pandemi ini sebagai titik balik strategi bisnis Halo Fina dan mungkin start up lain agar optimalkan layanan digital” Ujar Adjie Wicaksana (14/5) .
Lain halnya dengan Affan,Naufal, Founder start up Live On Hearo yang harus memebuang peluang untuk mendapatkan investor. Live On Hearo sendiri merupakan start up layanan radio digital yang menghimpun radio kampud di Bandung. Di situasi seperti ini, minimnya kompetisi ide bisnis dan pitching yang biasa digelar membuat start up garapannya layaknya jalan di tempat.
“Situasi ini bikin start up yang sudah gue rancang harus pending. Penyebabnya simply karena venture capital mau pun investor perseorangan lebih menaruh minat pada start up di bidang keseharan dan B2B (business to business) , jadi Live On Hearo belum jadi prioritas mereka,” Kata Affan (20/05) .
Pandemi Covid-19 memang lah sebuah skenario anyar di tahun 2020 ini. Sebauh situasi yang sebelumnya tidak diperkirakan hadir di tengah-tengah pelaku start up tanah air. Rencana strategis yang disiapkan pelaku usaha mau tidak mau berubah, dan adaptasi pun harus dilakukan agar bisnis tetap berjalanan. Di tengah pandemi ini, beberapa start up pun tumbang, namun lainnya mampu mendatangkan peluang
Komentar
12 Jun 2023 - 08:06
keren euy, tapi syukurlah pandemi sudah berlalu