Optimalisasi Insentif Pajak Bagi UMKM di Kala Pandemi

Penurun pajak harus dimanfaatakan untuk membangkitkan UMKM (Sumber gambar: https://www.radioidola.com/)

Penurun pajak harus dimanfaatakan untuk membangkitkan UMKM (Sumber gambar: https://www.radioidola.com/)

Like

Pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) mulai sedikit bernapas lega di tengah himpitan dampak pandemi Covid-19. Kementerian Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019.

Peraturan ini menegaskan bahwa pelaku UMKM mendapatkan insentif berupa Pajak Penghasilan (PPh). Pajak UMKM sebelumnya diatur dalam PP Nomor 23/2018. Perinciannya adalah wajib pajak yang memiliki peredaran bruto di bawah Rp 4,8 miliar per tahun dikenai PPh final sebesar 0,5% peredaran bruto.

Pemberian insentif pajak mesti dioptimalkan oleh UMKM agar bisa membantu pemulihan usaha dan harus diminimalisasi adanya penyelahgunaan.

Regulasi Insentif
PMK No 44/2020 mengatur wajib pajak yang selama ini menyetor sendiri PPh final atau PPh finalnya dipotong oleh pemotong, PPh final yang terutang ditanggung oleh pemerintah. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemkeu) tidak memungut PPh Pasal 22 Impor bagi wajib pajak yang melakukan impor.

Insentif PPh final DTP diberikan untuk masa pajak April 2020 sampai dengan masa pajak September 2020. PPh final DTP yang diterima oleh wajib pajak ini tidak diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak.


Persyaratan UMKM untuk bisa mendapatkan insentif PPh final DTP, harus diawali dengan mengajukan surat keterangan melalui www.pajak.go.id. Wajib pajak juga harus menyampaikan laporan realisasi pemanfaatan insentif PPh final DTP paling lambat setiap tanggal 20 pada bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.

Surat keterangan tersebut harus sudah dimiliki paling lambat sebelum penyampaian laporan realisasi. Desiminasi ketentuan ini harus segera dilakukan, tidak hanya kepada wajib pajak, tetapi juga kepada pemotong PPh final yang melakukan transaksi dengan wajib pajak. Jika ketentuan ini tidak atau terlambat diketahui, insentif PPh final DTP tidak atau kurang termanfaatkan oleh wajib pajak.

Pemberlakuan PMK No 44/2020 ini sejak diterbitkan pada 27 April 2020. Namun, wajib pajak yang dalam masa pajak April 2020 tidak bertransaksi dengan pemotong PPh final, dapat memanfaatkan sepenuhnya insentif tersebut karena PPh final DTP diberikan mulai masa pajak April 2020.

Wajib pajak yang biasanya menyetor PPh final untuk masa pajak April 2020 paling lama tanggal 15 Mei 2020, masih berpeluang mendapatkan surat keterangan. Wajib pajak tersebut tidak perlu menyetor PPh final yang terutang masa pajak tersebut. Pengecualian terhadap wajib pajak yang melakukan transaksi dengan pemotong, dimana sulit atau bahkan tidak dapat memanfaatkan sepenuhnya insentif PPh final DTP.

Wajib pajak PPh final, sesuai PP No 23 Tahun 2018, yang bertransaksi dengan pemotong PPh menyerahkan fotokopi surat keterangan. Pemotong PPh melakukan konfirmasi atas kebenaran surat keterangan yang diserahkan oleh wajib pajak, antara lain dengan cara melakukan scan barcode.

Jika surat keterangan terkonfirmasi, maka pemotong membuat Surat Setoran Pajak (SSP) atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan "PPh Final Ditanggung Pemerintah Eks PMK Nomor 44/PMK.03/2020" dan tidak melakukan pemotongan PPh. SSP atau cetakan kode billing tersebut wajib dilaporkan oleh pemotong dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2). Sedangkan jika tidak terkonfirmasi, maka pemotong PPh final memotong PPh sesuai ketentuan umum PPh (Waluyo, 2020).
 

Catatan Optimalisasi

Apresiasi layak diberikan namun catatan kritis penting diberikan terhadap regulasi di atas guna optimalisasinya. Waluyo (2020) memberikan catatan mendasar terkait regulasi insentif pajak UMKM tersebut.

Pertama, wajib pajak yang dalam masa pajak April 2020 bertransaksi dengan pemotong dan telah dipotong PPh final sesuai dengan PP No 23/2018 sebelum berlakunya PMK 44/2020 pada 27 April 2020, mestinya dapat mengajukan pengembalian kelebihan pembayaran PPh final yang telah dipotong. Hal ini disebabkan insentif PPh final DTP diberikan mulai masa pajak April 2020.

Mekanismenya adalah wajib pajak mengajukan permohonan kelebihan pajak yang seharusnya tidak terutang. Selain itu bisa dengan cara mengajukan permohonan pemindahbukuan oleh pemotong ke pembayaran pajak si wajib pajak.

Kedua, berpotensi terjadi ketidak sesuaian masa pelaporan oleh pemotong dan wajib pajak yang melakukan transaksi dengan pemotong. Wajib pajak melaporkan peredaran bruto yang diperoleh dari usaha dalam suatu masa pajak berdasarkan invoice yang diterbitkan pada masa pajak. Sesuai dengan Pasal 5 ayat (8) PMK 44/2020, pemotong melakukan pemotongan pajak pada saat pembayaran, yang mungkin tidak sama dengan masa pajak diterbitkannya invoice.

Wajib pajak orang pribadi maupun badan yang memenuhi ketentuan PP 23/2018 dapat menikmati insentif PPh final DTP apabila membutuhkannya. Insentif PPh final DTP mengurangi pajak terutang tahun pajak 2020. Sebab PPh final terutang masa pajak April sampai dengan September 2020 ditanggung pemerintah.

Hal ini berlainan dengan insentif PPh bagi selain wajib pajak PPh final PP 23/2018, yaitu berupa pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 dan pembebasan PPh Pasal 22 Impor. Bagi wajib pajak tersebut, insentif ini tidak mengurangi pajak terutang tahun pajak 2020 karena PPh Pasal 25 dan Pasal 22 impor hanya merupakan pajak yang dibayar dimuka.

Wajib pajak PPh final PP 23 yang tidak terdampak pandemi penting berpikir lagi sebelum menggunakan fasilitas ini. Insentif ini memang hak para wajib pajak. Jika tidak memanfaatkan insentif PPh final yang ditanggung pemerintah, maka wajib pajak telah membantu pemerintah meringankan beban negara dalam membiayai pandemi Covid-19.

Sosialisasi kebijakan insentif ini mesti gencar diberikan kepada UMKM. Kondisi pandemi dapat dilakukan metode sosialisasi tidak langsung dengan beragam media, seperti website, media sosial, email, dan lainnya.