Solusi Keluar Dari Krisis Ekonomi Di Masa Pandemi, Maksimalkan Potensi Ekosistem Sosial Daerahmu! 

Ekosistem sosial (Sumber gambar: Pixabay - Free-Photos)

Ekosistem sosial (Sumber gambar: Pixabay - Free-Photos)

Like

Setelah menikah 2019 lalu, saya dan suami pindah ke Punclut, di perbatasan antara Kota Bandung dan kabupaten tapi masih masuk kotanya. Kami tidak punya teman yang kenal di sana sebelumnya. Ya, memang memilih tempat tersebut dengan alasan udaranya sejuk dan kontrakannya ekonomis.  

Terhitung sejak September saya menempati rumah. Selama sebulan kami merenovasi rumah dengan kemampuan yang terbatas mengandalkan kreativitas. Bulan Oktober hingga Desember, saya harus ke luar kota untuk residensi penulis di Jawa Timur.  

Saya hanya baru berkenalan dengan tetangga sebelah kanan rumah yaitu Bu Sri dan Pak Tamim. Sementara tetangga sebelah kiri adalah sekumpulan mahasiswa teman suami saya. Mereka memang direkomendasikan suami untuk mengontrak di sana. Sayangnya, sekumpulan mahasiswa tadi lulus dan berpencar sehingga mereka tidak lagi mengontrak di sebelah rumah. Suasana jadi sepi sekali. 

Saya berpikir, saya harus mulai membangun ekosistem sosial saya di Punclut. Bagaimanapun lingkungan terdekat selain keluarga adalah tetangga. Kalau kata orang Sunda, batur jadi dulur. Jadikan orang lain sebagai keluarga. 

Tips Membangun Ekosistem Sosial Dengan Tetangga 


Namanya bertetangga sebetulnya kewajiban manusia sebagai makhluk sosial. Namun yang saya rasakan ternyata bertetangga itu butuh kemauan, kemampuan, dan empati.  

Kemauan 
Saya pindah ke Bandung dari umur 9 tahun. Lingkungan tempat saya tinggal dipandang cukup kelam. Di balik rumah-rumah besar sepanjang Nyengseret ada rumah-rumah berdempetan yang diapit gang-gang sempit. Kontras banget.  

Sejak pindah ke sana, orang tua saya melarang main dengan lingkungan tetangga. Ya, bisa dibilang anak-anaknya agak kurang ajar. Saya sebagai anak-anak tentunya ingin main dengan kawan sebaya. Kadang-kadang masih curi-curi kesempatan buat bergaul. Saya diizinkan berteman di lingkungan masjid.  

Dulu waktu sekolah kan, ada tugas harus mengisi buku ceramah selama bulan Ramadan. Jadi tiap bulan puasa saya rajin ke masjid tiap subuh. Di sana saya akhirnya punya teman. Beranjak dewasa tepatnya masuk kuliah, saya ngekost dan kehilangan kontak dengan teman-teman itu. Saya tidak berbaur dengan lingkungan tetangga lagi. 

Sejak saya menempati rumah kembar tahun 2012, saya kembali intens di Nyengseret. Saya punya tetangga yang sudah mengenal saya sementara saya tidak mengenal mereka. Barangkali itu yang dinamakan ekosistem sosial yang terberi. Dibentuk oleh orang tua saya. Saya tidak perlu repot-repot mengenal mereka satu per satu. Orang tua saya dikenal ramah dan ringan tangan sehingga tetangga menghormati saya. Saya tidak perlu punya kemauan karena 'terberi' tadi. 

Jadi balik lagi, pertama-tama tips untuk membangun ekosistem sosial dengan tetangga haruslah punya kemauan. Punya niat yang teguh dan motivasi. Karena dalam perjalanan bertetangga pasti ada saja rintangannya. Entah dari dalam diri maupun dari tetangga sendiri.  

Kemampuan Komunikasi 
Membentuk ekosistem bertetangga menurut saya tidak mudah. Sebagai pendatang saya segan. Namun rasa segan itu mesti dilawan. Kemampuan utama yang harus dikembangkan dalam bertetangga adalah komunikasi. Saya kan, anaknya pemalu. Jadi bingung bagaimana memulainya. Terutama karena sebetulnya saya sudah tinggal di sana cukup lama.  

Buatlah kesempatan untuk berkenalan. Saya misalnya, ketika kedua kucing saya hilang, saya berkeliling tetangga untuk mencari kucing sembari memperkenalkan diri. Cara tersebut cukup efektif untuk berkenalan saja. Namanya bertetangga ya harus berkelanjutan.

Saya sediakan waktu seminggu 2 kali untuk berkeliling ke tetangga hanya untuk mengobrol. Misalnya dengan keluarga Pak Tono yang suka bercocok tanam. Kami langsung nyambung karena punya kesamaan. Lalu kalau ke warung saya sempatkan bercakap-cakap dan bertanya nama tetangga yang berjualan.  

Saya agak kaget mendapat respon bahwa di era sekarang orang merasa aneh ketika saya bertanya nama mereka. 

"Kunaon kitu, Neng naha naros nami?" Kenapa gitu, Neng nanyain nama segala? 
"Mau kenalan aja, Pak, Bu," begitu jawab saya biasanya. 

Beraktivitas di luar rumah juga menjadi kesempatan bersosialisasi. Jadi saya selalu menyempatkan diri buat beraktivitas di luar rumah agar tetangga minimal familiar dengan saya. 

Empati 
Tetangga buat saya adalah support system terbaik di era pandemi. Ketika saya jarang online untuk menghemat pengeluaran. Kehidupan di sekitar terlihat begitu nyata.  

Saya memperhatikan tetangga cukup intens. Apa yang bisa saya perbuat untuk mereka? Misalnya ketika dekat lebaran saya memberikan kain untuk dijahit. Kain-kain ini banyak sekali di lemari. Saya kumpulkan sejak saya berprofesi sebagai wedding organizer. Suami saya pengrajin kayu, hasil kriya kami bagikan juga ke tetangga sekadar untuk menghibur anak-anak atau remaja yang terpaksa selalu di rumah. 

Saya juga membagikan bibit-bibit tanaman untuk tetangga seperti cabai dan tomat. Mereka biasanya senang karena bibit ini bukan berupa biji melainkan agak besar. Ini dimaksudkan untuk mendorong kemandirian pangan. Lain lagi misalnya dengan keluarga Pak Tono yang membantu kami bercocok tanam dengan menyediakan kompos dan tanah. 

Ternyata perhatian seperti itu berbuah manis. Tetangga saya mengirimi cabai yang baru panen atau penganan. Saya sebetulnya terharu sebab tidak ada niat untuk mendapatkan sesuatu dari tetangga saya. Intinya dengan empati ada simpati dan empati lagi. 

Solusi Keluar Dari Krisis Ekonomi Di Masa Pandemi, Maksimalkan Potensi Ekosistem Sosial Daerah 
Perjalanan bertetangga sebelum dan masuk ke masa pandemi ini menginspirasi saya. Ketika membangun ekosistem sosial ada masa pengenalan satu sama lain. Saya jadi kenal keluarga, pekerjaan, masalah-masalah lingkungan, dan potensi sosial daerah saya.  

Pandemi ini melanda seluruh dunia. Untuk melindungi negara, provinsi, sampai daerah terkecil, pemerintah mengeluarkan kebijakan PSBB. Yang artinya, kita mesti bertahan dengan potensi lokal.  

Pandemi tidak bisa dilawan sendiri-sendiri melainkan kita mesti bergenggaman tangan. Budaya saling bantu dan gotong royong antar tetangga mampu meringankan dampak pandemi terutama menghadapi krisis ekonomi yang membayang.  

Saya mencoba membuat daftar potensi tetangga, baik itu kemampuan individu ataupun secara produksi. Misalnya ada yang membibit tanaman, membuat kriya, punya kemampuan akuntansi, dan sebagainya. Semuanya saling melengkapi. Dari daftar ini saya coba petakan apa saja yang bisa digabungkan.  

Saya mengelola bisnis kriya kecil-kecilan bersama suami. Lalu kami mengajak tetangga lain untuk berpartisipasi. Kami masukkan produk-produk mereka ke dalam toko daring kami di marketplace. Untuk produk lain yang tidak selaras, saya buatkan toko daring lain. Atau saya pasarkan lewat What’sApp. Hasilnya, alhamdulillah ada saja rezekinya buat kami.  

Sekali lagi bahwa krisis ekonomi sebab pandemi mesti dilawan secara bersama-sama. Keterbatasan gerak bisa disiasati dengan kerja sama. Tinggal kita mau mengenali setiap potensi ekosistem sosial daerah dan merangkulnya secara perlahan. Menghargai setiap opini dan menjembatani setiap perbedaan pendapat dengan kepala dingin. Dan akhirnya memaksimalkan potensi daerah agar perekonomian bisa bergerak kembali. 

Nah, sudahkah kamu menyelami ekosistem sosial daerahmu? Kalau belum, mari mulai dari sekarang.