Selamatkan Hutan dari Deforestasi Sawit, Gerakan “All Eyes on Papua” Bergema di Media Sosial!

Aksi demonstrasi masyarakat Papua di depan MA untuk selamatkan hutan adat (Sumber gambar: Greenpeace)

Aksi demonstrasi masyarakat Papua di depan MA untuk selamatkan hutan adat (Sumber gambar: Greenpeace)

Like

Akhir-akhir ini, banyak poster seruan yang sedang berseliweran di media sosial. Salah satunya adalah poster “All Eyes on Rafah” yang menjadi sorotan warganet di seluruh dunia mengenai konflik kemanusiaan.

Namun, nyatanya ada poster lain yang juga viral di unggahan media sosial masyarakat Indonesia yaitu “All Eyes on Papua”.

Poster ini berhasil mengundang atensi publik hingga menjadi trending topik di platform Instagram dan X (Twitter).

Sampai tulisan ini dibuat pun, template poster “All Eyes on Papua” sudah diposting lebih dari 2,8 juta kali di Instagram Story.

Sementara di X (Twitter), tagar “All Eyes on Papua” masih menduduki trending topik teratas dengan beragam cuitan untuk menyerukan keadilan.


Lalu, apa sebenarnya makna di balik poster “All Eyes on Papua” yang viral di media sosial? Serta, apa tujuan seruan yang disemarakkan oleh warganet tersebut?

 

Makna di Balik Seruan “All Eyes on Papua”

Poster yang belakangan ini bersirkulasi di media sosial merupakan bentuk protes masyarakat terhadap pemerintah.

Baca Juga: All Eyes On Papua: Memperjuangkan Hutan Adat dan Mengenal Suku Lokal

Sebab, di Papua kini sedang terjadi konflik besar-besaran mengenai pembangunan lahan perkebunan sawit.

Konflik ini bermula pada tahun 2023 lalu. Pemerintah provinsi setempat mengizinkan PT Indo Asiana Lestari (IAL) untuk membangun perkebunan kelapa sawit seluas 36.094 hektar.

Jika diasumsikan, luasnya setara dengan luas separuh kota Jakarta. Titik utama permasalahannya adalah perkebunan tersebut dibangun di atas hutan adat masyarakat marga Woro yang merupakan bagian dari Suku Awyu. 

Tak hanya PT Indo Asiana Lestari (IAL), pemerintah setempat juga memberikan izin lingkungan kepada PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) untuk pembangunan perkebunan sawit seluas 18.160 hektar.

Lagi-lagi, pembangunan tersebut membabat hutan adat dari Suku Moi Sigin. Sebenarnya, pemerintah setempat pernah mengizinkan PT SAS untuk perkebunan sawit dengan luas 40 ribu hektar di Kabupaten Sorong, Papua Barat.

Pemerintah bahkan sempat mencabut perizinan tersebut pada tahun 2022. Namun, pihak dari perusahaan tak terima dengan pencabutan tersebut dan menggugatnya ke PTUN Jakarta.

Ancaman pembabatan hutan adat di Papua ini juga sudah terjadi sejak dulu. Pemerintah selalu memberikan izin-izin lingkungan untuk pembangunan baru yang tidak pernah memikirkan dampaknya di masa depan.

Mereka seolah tutup mata dan tidak peduli dengan bahaya yang akan mengintai.