Inovasi Berbuah Pundi Rupiah di Tengah Pandemi

Para istri nelayan bakau di Langkat menyajikan keripik jeruju hasil produksi mereka (Sumber gambar: Danang Firmanto/Dok. Pribadi).

Para istri nelayan bakau di Langkat menyajikan keripik jeruju hasil produksi mereka (Sumber gambar: Danang Firmanto/Dok. Pribadi).

Like

Bertahan hidup di tengah pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) menjadi tantangan bagi masyarakat saat ini. Betapa tidak, pandemi yang belum juga berakhir justru kian memukul sebagian masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Tak terkecuali bagi warga Desa Lubuk Kertang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Mereka yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan bakau harus mencari peluang usaha lain agar api tungku di rumah mereka tetap menyala.

Sejak munculnya kasus positif Covid-19 pertama di Indonesia, penyebaran virus tersebut terus meningkat. Sumatera Utara termasuk wilayah yang cukup banyak terpapar.

Dari 34 provinsi, ia menempati urutan ketujuh setelah Kalimantan Selatan. Jumlah penduduk yang terkonfirmasi positif corona sebanyak 3.931 dengan angka kematian 194 orang hingga akhir Juli 2020.

Kondisi demikian membuat Pemerintah Kabupaten Langkat, Sumatera Utara bergegas menggelontorkan bantuan. Dikutip dari Kabar Sumatra yang dimuat pada laman Bisnis.com, pemerintah setempat bakal mengucurkan dana Rp 6,9 miliar untuk percepatan penanganan Covid-19. Di samping itu, langkah-langkah pemulihan perekonomian di tingkat keluarga juga terus dilakukan.


Melalui keuletan tangan para istri nelayan itulah, daun pohon jeruju (Acanthus Ilicifolius) dapat diolah menjadi makanan. Daun yang tumbuh pada tanaman bakau tersebut diubah menjadi keripik yang renyah.

Mereka menyebutnya sebagai keripik jeruju. Selain disebut-sebut sebagai obat herbal dari beberapa penyakit seperti batuk dan hepatitis, rasa yang dihasilkan pun gurih dan sedikit manis.

Daliana, Ketua Kelompok Perempuan Nelayan Lubuk Kertang mengatakan keripik jeruju memang menjadi salah satu ladang tambahan penghasilan bagi warga nelayan di daerahnya sekarang. Hasilnya pun lumayan, pesanan keripik datang dari para mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) dan kerabat mereka di luar kota.

Harga jual satu bungkus keripik jeruju seberat 70 gram pun terjangkau sekitar Rp5.000-7.000. Sedangkan untuk keripik per kilogramnya bisa dihargai hingga Rp 80 ribu.

Kelompok Perempuan Nelayan Lubuk Kertang tersebut terbentuk atas pendampingan organisasi Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Sebelum memulai mengembangkan usaha keripik jeruju, Daliana pernah terlebih dulu mengikuti pelatihan pembuatan keripik daun bakau di Berastagi, Sumatera Utara.

KNTI juga mengirimkan perempuan berusia 47 tahun tersebut ke Serdang Bedagai untuk melakukan studi banding pengolahan keripik jeruju yang telah dilakukan kelompok perempuan nelayan di sana.

Sepulang dari Serdang Bedagai, Daliana mulai menularkan cara produksi keripik jeruju ke istri-istri nelayan di desanya. Dari situ lah, belasan orang ikut mengembangkan usaha keripik. Menurut dia, tak susah mengolah daun jeruju menjadi keripik.

Mereka tinggal menghaluskan daun tersebut dengan cara ditumbuk dan mencampurnya dengan bawang. Karena rasa dasar daun jeruju sudah enak maka tak perlu lagi membubuhkan penyedap rasa dan bahan pengawet. Namun, keripik jeruju hanya bertahan maksimal sebulan sejak pengemasan.

Yang menarik adalah setiap anggota kelompok perempuan nelayan di Lubuk Kertang selalu menyetor iuran Rp1.000 per hari. Uang yang sudah terkumpul kemudian mereka belanjakan untuk membeli peralatan dan perlengkapan pembuatan keripik. Mereka berharap dengan usaha keripik jeruju tersebut bisa membantu menopang perekonomian keluarga selama pandemi Covid-19.