Usaha Rintisan “Pubila” sebagai Sociopreneurship Milik Komunitas yang Pertama di Alor

sebagian produk UKM Pubila yang diifavoritkan konsumen

sebagian produk UKM Pubila yang diifavoritkan konsumen

Like

Alor adalah sebuah kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang merupakan kepulauan. Ada tiga pulau utama di Alor yakni Pulau Alor, Pulau Pantar, dan Pulau Pura, selain ada sekian banyak pulau kecil.

Kita bisa bayangkan bila sebuah tempat berupa kepulaun, tentulah ada banyak laut yang indah dan kehidupan warganya berbasis pada usaha bahari.

Demikianlah yang terjadi di Alor, meski tidak semua tempat juga mengandalkan laut karena ada banyak wilayah yang berupa bukit dan gunung. Pantai, laut, serta pulau berpadu dengan bukit dan gunung.

Membacanya dalam satu kalimat saja sudah membuat imajinasi kita beraksi, bukan? Nah, yang lebih luar biasanya lagi, Alor memiliki kekayaan budaya yang mengagumkan. 

Ada banyak suku dan sub suku serta belasan bahasa daerah yang berbeda dalam satu kabupaten ini. Di Pulau Pantar saja setidaknya terdiri dari 5 rumpun bahasa besar dan ada lebih banyak lagi bahasa di Pulau Alor.

Adat dan tradisi kebanyakan masih dipelihara oleh suku-suku asli ini, terutama terlihat dalam tahapan perkawinan. Ada sebuah tarian juga yang terkenal dan ada di seluruh Alor yakni tarian lego-lego di mana semua penarinya adalah peserta dalam satu acara pertemuan dan semunya memakai kain tenun yang cantik lalu berpegangan tangan dan menari melingkar mengikuti panduan juru pantun yang akan meminta para penari bergoyang ke kiri, berputar ke kanan, meluas, atuapun menyempit, sambil menyanyi mengikuti lagu yang diiringi tabuhan gendang dan gong. 


Atas potensi Alor yang mempesona inilah, sebuah kelompok usaha sosial di bidang pengembangan masyarakat bernama Abhirama Semesta yang dikerjakan oleh tiga orang muda, menjawab undangan dari sebuah komunitas kampung kecil di Pulau Pantar bagian barat yang meminta mereka membantu mengembangkan potensi alam yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.

Sejak Februari 2020, pemetaan potensi dan pengamatan sebagai baseline awal mereka lakukan hingga awal April. Akhirnya pada pertengahan April, komunitas kampung sepakat untuk membentuk sebuah usaha rintisan dari komunitas dan milik komunitas, yang juga dikerjakan oleh komunitas, bernama UKM alias Usaha Kecil Masyarakat yang bernama Pubila.

Bagi warga kampung, Pubila adalah tempat bersejarah di mana para tetua mereka berhasil bertepur melawan pasukan Belanda dengan senjata batu dan panah hingga mereka menang.

Semangat itulah yang ingin komunitas ini pelihara sebagai upaya memperjuangkan kesejahteraan bagi semua orang terutama generasi muda.

Tujuan UKM Pubila sebagai sociopreneurship bukan hanya sekadar mencari keuntungan / profit gain, tetapi tujuan utama dan pertama adalah mencipatkan dampak bagi warga berupa peningkatan kesejahteraan. Misi sosial UKM Pubila sebagai usaha lokal milik komunitas adalah mengelola potensi alam Pantar Barat untuk meningkatkan keterampilan pemuda dalam industri rumahan dan pengelolaan wisata berbasis masyarakat agar sama-sama terwujud kesejahteraan bagi satu kampung.

Sebab, meskipun usaha ini dimotori oleh pemuda lokal, tetapi mata rantai bisnisnya melibatkan semua orang dari segala kalangan di kampung. Artikel di Bisnis.com yang berjudul Sociopreneurship, Membangun Usaha dengan Misi Sosial, menjelaskan bahwa poin utama dari socioprenerusip adalah misi sosial sebagaimana yang diungkapkan David Christian dari Ecoware yang menjadi salah satu narasumber dalam artikel tersebut bahwa “Profit itu penting, tetapi bukan tujuan, melainkan hasil.

Kita harus berpegang pada value usaha sosial kita agar ketika kendala datang, kita ingat 'why' kita menjalankan usaha sosial ini dan terus menjaga keberlanjutan usaha.” 

Pandemi covid-19 yang melanda Indonesia sejak Februari juga akhirnya berdampak hingga ke kampung kecil di Pantar ini. Tiba-tiba saja kampung yang jauh dan terpisah lautan dari ibukota kabupaten dan ibukota provinsi ini terkena PSBB dan harga barang-barang kebutuhan pokok melonjak naik karena transportasi antar pulau yang sempat ditutup untuk pencegahan covid.

Selain itu petani di kampung khawatir harga mente sebagai komoditi andalan akan jatuh karena pasar dunia tidak berminat membeli sebab sibuk menghadapi pandemi. Situasi kampung yang sempat limbung di awal pandemi ini semakin mendorong UKM Pubila untuk segera beroperasi agar bisa berperan dalam mendorong kemandirian ekonomi warga.

Harapan saat itu UKM Pubila bisa memiliki modal untuk membeli panen mente dan padi ladang milik warga untuk diolah menjadi snack mente maupun beras hitam yang bisa dijual pada konsumen di kota.

Sebagai usaha rintisan yang baru berdiri, tentunya modal menjadi perkara nomor satu yang harus dipikirkan. Abhirama Semesta sebagai pendamping UKM Pubila pun berupaya memecahkan persoalan ini dengan melakukan crowd funding bagi UKM Pubila.

Sebetulnya tidak akan mudah bila kita mencari pinjaman modal untuk sebuah bisnis biasa, apalagi ketika perekonomian nasional terpukul oleh pandemi Covid-19 yang terasa dampaknya oleh semua orang. Namun karena mengusung misi sosial inilah, ditambah lagi ada keterlibatan komunitas dalam rupa iuran, maka calon investor dan donatur pun tergerak untuk ikut serta.

Ada yang memang berdonasi seikhlasnya dan ada juga yang meminjamkan karena sepakat dengan skema pinjaman yang ditawarkan yakni mengikuti suku bunga ORI senilai 6,3% untuk 2 tahun sambil investasi mereka berkontribusi bagi masyarakat.

Melalui ketiga cara ini: donasi, pinjaman, dan iuran, terkumpul dana sebesar Rp 44 juta. Tidak besar memang, namun cukup sebagai langkah awal. Pengalaman mencari investor ini lumrah terjadi dalam setiap sociopreneruship.

Menurut Jezzie Setiawan dari GandengTangan dalam artikel di Bisnis.co berjudul Bisnis Perusahaan Rintisan antara Profitabiltas dan Dampak Sosial: Hal lain yang tak kalah pentingnya dalam menjaga kelangsungan wirausaha sosial adalah memilih calon investor yang memiliki kesamaan visi dan misi.

Menurutnya, tak jarang calon investor meminta syarat yang tak sesuai dengan misi perusahaan, seperti mengucurkan pinjaman konsumtif, atau menaikkan bunga agar keuntungan makin besar. Dalam hal ini, dia menilai kemampuan para founder menjadi penentu.

“Memilih investor sama dengan memilih jodoh, kita harus punya kesamaan visi dan misi. Founder dan co-founder juga harus mampu negosiasi,” ujarnya. 

Dari modal pertama yang terkumpul ini, komunitas bersama UKM Pubila membeli sebuah mesin giling padi sebab selama ini tidak ada mesin giling di kampung, sehingga warga harus pergi ke kampung tetangga dengan ojek hanya untuk menggiling padi ladang hasil panen mereka.

Jadi, secara gotong royong, sebuah bangunan kayu didirikan sebagai rumah untuk mesin giling padi ini, Tujuannya selain mendekatkan warga akan kebutuhan mesin, UKM Pubila juga bermaksud memanfaatkan sekam dan dedaknya untuk pertanian dan pertenakan organik sebagai cabang usaha selanjutnya.

UKM Pubila telah menganggarkan modal untuk proses pembuatan minuman herbal seperti bubuk jahe, temulawak dan kunyit, juga daun kelor, ditambah lagi produksi minyak kelapa murni (VCO) dan minyak kemiri, serta olahan makanan ringan berupa kacang mente, jagung goreng, dan keripik pisang.

Semua produk itu bahan bakunya berasal dari kampung sendiri sehingga warga kampung yang semuanya petani tidak harus menjual hasil bumi mereka ke tengkulak, tetapi ada alternatif lain yakni menjualnya ke UKM Pubila di kampung dengan harga yang lebih baik dari pengepul di pusat kecamatan. 

UKM Pubila juga berniat mengelola pariwisata. Ada banyak pantai yang indah serta sebuah gunung api yang bisa didaki hampir sepanjang tahun sehingga wisatawan dapat tinggal di kampung dalam homestay milik warga dan dipandu ke tempat-tepat wisata itu.

Para wisatawan juga diharapkan dapat saling berbagi pengetahuan dengan warga sebab ada sebuah rumah belajar yang aktif berjalan di kampung bagi anak-anak dan remaja, sedangkan warga sendiri dapat mengajak wisatawan memasak makanan lokal dan belajar nyanyian serta tarian daerah.

Untuk promosi pariwisata ini, UKM Pubila baru saja menjalin kerjasama dengan sebuah start-up sociopreneurship di bidang wisata sosial. 

Bagi UKM Pubila yang masih sangat baru, ini adalah sebuah cita-cita besar dan membutuhkan proses yang panjang. Namun seluruh tim bergembira karena langkah-langkah pertama sudah dimulai. Seluruh komunitas memiliki semangat yang sama akan perubahan.

Para pemuda yang setelah tamat SMA biasanya pergi bekerja di kota atau hanya diam saja di kampung juga sekarang bisa bergabung dengan UKM Pubila untuk belajar dan bekerja bersama tentang pengelolaan bisnis yang bermisi sosial.

Sejak awal sudah ditanamkan pada seluruh komunitas bahwa ini bukan untuk keuntungan sekelompok orang, tetapi harus seluruh komunitas yang mengalami sendiri manfaat hadirnya UKM Pubila di tengah-tengah warga. 

Artikel Bisnis.com yang berjudul Menjadi Sociopreneur, Memulai Usaha dari Masalah Sosial menegaskan bahwa diperlukan motivasi, kerja keras, inovasi dan kreativitas sesuai perkembangan zaman tanpa melupakan tujuan utama yakni memberi dampak sosial yang positif sebab banyak pihak menaruh harapan besar pada sociopreuneurship, bahwa gerakan ini akan menjadi salah satu solusi dari masalah-masalah sosial yang muncul di tengah masyarakat.

UKM Pubila siap untuk bekerja keras menjadi entitas bisnis sosial yang kreatif, menangkap peluang, kolaboratif, transparan, dan akuntabel sehingga sungguh berdampak sosial bagi kesejahteraan kampung dan menjadi contoh nyata tentang sociopreneurship yang berhasil di Kabupaten Alor.