petani padi yang semakin menua (sumber : Bisnis.com)
Likes
Saya anak petani padi, dan Bapak sudah memberi tahu bahwa beliau adalah petani generasi terakhir di desa ini. Menjelang tahun 90an, sawah di desa kami bisa dikatakan sudah habis.
Mungkin tidak sampai 20 persen yang tersisa. Itu pun sebagian besar adalah tanah kas desa dan milik pengembang yang belum dibangun.
Jika tidak ada krisis ekonomi 1998, resesi 2008, dan beberapa kali kelesuan dunia properti, Bapak yakin sawah di desa kami telah benar-benar habis.
Bapak masih tetap menjadi petani dan menggarap kira-kira 1,5 ha sawah. Sebagian besar menyewa atau bagi hasil dengan pemilik lahan.
Hanya sekitar 1/4 ha yang merupakan tanah warisan kakek dan dipertahankan hingga sekarang. Walaupun, sudah puluhan kali atau ratusan kali ditawar oleh pengembang. Dari 1,5 ha sawah itu, 80 persen terletak di desa tetangga.
Saat masih muda, Bapak menggarap sawah dua hingga tiga kali lipat dari sekarang. Bapak juga beternak kerbau. Jika ada kebutuhan besar, Bapak akan menjual seekor kerbaunya.
Kata Bapak, menjadi petani itu berat. Bapak selalu berkata, menjadi petani itu seperti menjadi pedagang, tapi tidak memiliki kuasa menentukan harga jualnya.
Petani itu ibarat seorang developer properti yang tidak berhak menentukan harga jual rumahnya. Petani itu seorang pengusaha, tapi tidak bisa membuat proyeksi untung dan rugi sejak awal. Bayangkan, betapa tinggi resikonya.
Tahapan bertani harus dilalui semuanya dari mengolah tanah hingga pemupukan. Kata Bapak, urea itu mahal sekali, jadi tidak mungkin petani boros pupuk.
Jika belum menghijau, harus dipupuk. Jika kurus dibiarkan saja, tidak akan panen.
Belum lagi jika didatangi hama, harus disemprot obat. Kalau obat A gagal, ganti B. Jika gagal lagi, ganti C, demikian seterusnya.
Belalang harus pergi dan wereng harus mati. Jika tidak, pasti gagal panen. Biaya kemudian membengkak tidak terprediksi.
Jika panen datang, harga tergantung pasar. Jika harga sedang bagus-bagusnya, pemerintah akan segera melakukan kebijakan impor. Harga pun turun kembali.
Percayalah, panen raya itu milik negara denga data produksi yang membanggakan. Petani tidak pernah tahu kapan panen raya itu akan dialaminya.
Bapak tahu, dirinya dikorbankan pemerintah agar para tetangganya mampu membeli beras. Bagi yang tahu, kebijakan itu memang dilematis.
Bapak sendiri tidak ingin menghitung biaya produksinya. Kata Bapak, jika punya keahlian lain, dia mungkin memilih berganti pekerjaan. Karena, jika semua proses bertani, seperi mencangkul tanah dan menyiangi rumput dikalkulasikan dengan uang, maka hampir tidak ada margin keuntungan. Terlebih saat produksi turun, marginnya negatif. Sama sekali tidak ada keuntungan.
Bapak itu ibarat pemilik UMKM dengan komoditas yang tidak ada jaminan keutungannya. Lalu, bagaimana Bapak bisa membiayai kuliah kami bertiga, bahkan membangunkan rumah untuk anak-anaknya?
Dari mana bisnis Bapak ini menghasilkan keuntungan?
Pertama, keuntungan itu adalah keringat Bapak mencangkul tanah, mengairi sawah dan sebagainya. Jika merugi, Bapak adalah buruh bagi usahanya sendiri yang tidak dibayar.\
Kedua, keuntungan itu adalah keringat Bapak yang bekerja 24 jam. Jika kamu bekerja 8 jam, Bapak berangkat ke sawah pukul 5 pagi selepas shubuh. Pulang pukul 12 untuk makan siang, kemudian pukul 2 kembali ke sawah hingga menjelang maghrib. Hanpir 12 jam.
Itu belum selesai. Di malam hari, Bapak seringkali harus memastikan sawah garapannya terisi air.
Ketiga, luas garapan Bapak yang tidak masuk. Sawah seluas 4 ha, jelas tidak mungkin dikerjakan oleh satu orang.
Garapan itu kira-kira 14-15 patok sawah. Bapak punya karyawan 4 karyawan yang tidak digaji, yaitu ibu dan ketiga orang anak laki-lakinnya. Keuntungan itu adalah tenaga kami yang tidak masuk pembukuan.
Setiap pagi, ibu selalu ke sawah. Kami, anak-anaknya, selepas pulang sekolah dan makan siang, langsung ke sawah.
Keempat, keberuntungan dan keberkahan. Artinya, untuk menjadi 'pengusaha tani' yang sukses, hasil produksimu harus bagus dan atau sering bertemu dengan harga yang bagus.
Contohnya, Pak Ahmad menjual padinya satu patok 8 juta rupiah. Kemudian, tengkulak memotong padi tersebut dan hasilnya merosot dibandingkan panen sebelumnya.
Petani yang menjual padi setelah Pak Ahmad, walaupun hanya berselang satu minggu, tidak akan mendapatkan harga bagus 8 juta. Harganya akan turun menjadi 5-6 juta.
Dalam konteks pekerjaan petani ini, Bapak juga termasuk beruntung karena semua anaknya laki-laki. Jika kamu tidak tidak menemui keberuntungan di atas, nasibmu sebagai petani pasti dipenuhi keruwetan.
Nah, kerumitan petani akhir-akhir ini, hasil panen tidak dapat diprediksi. Padinya bagus, tapi hasilnya merosot. Mungkin karena musim hujan yang sekarang juga tidak pasti.
Namun, Bapak tetap saja tidak punya pilihan, kecuali padi yang ditanamnya harus tumbuh menjadi padi terbaik. Tidak perlu dihitung, berapa biaya produksinya, sebab padi yang kurus harganya jatuh terlalu jauh.
Maka, jika Bapak berlagak seperti bos kecil yang tidak menyentuh pekerjaan tokonya dan fokus pada managerial, dengan memberi gaji yang layak kepada semua karyawannya, Bapak akan bangkrut.
Tidak ada keuntungan sama sekali. Maka, Bapak lebih memilih membuang pekerjaan managerial itu, dan bekerja sebagai buruh untuk dirinya sendiri.
Namun, Bapak juga berkata, masih bersyukur menjadi petani di zama Orde Baru hinga sekarang. Bapak bercerita, nasib generasi kakek lebih memprihatinkan.
Dulu, banyak orang yang menjadi buruh tani dan rela upahnya diberi makan hanya untuk bertahan hidup. Waktu itu, padi hanya panen dua kali setahun dan hasilnya kurang dari setengah hasil panen sekarang.
Bapak mengajariku satu hal, bukan petani yang menyelamatkan kehidupan ini, namun teknologi. Benih unggul memungkinkan padi panen tiga kali setahun. Pupuk memungkinkan hasil produksi meningkat berlipat.
Pestisida memungkinkan kita menghindari gagal panen. Ketiga bencana itu yang dulu megakibatkan kita terpaksa makan bulgur, bukan beras.
Bapak menjelaskan logika serupa kenapa dulu kita makan satu telur saja dibagi untuk empat hingga delapan orang. Sekarang, kita bisa makan telur utuh setiap hari karena teknologi peternakan yang berkembang pesat. Produksi telur meningkat berkali-kali lipat. Stok melimpah dan telur menjadi murah.
Nah, Bapak berharap teknologi terbaru mampu menyelamatkan petani. Di pertengahan tahun 90 an, tangki penyemprot hama tidak semua petani memilikinya, termasuk Bapak.
Sekarang, bukan hanya tangki, diesel air pun dengan mudah dibeli oleh Bapak. Bukan Bapak yang menjadi kaya tapi produk utilitas semakin murah. Mirip dengan harga handphone.
Bapak membayangkan petani dapat panen 4 kali setahun, pupuk dan obat-obatan menjadi jauh lebih murah. Nah, sebenarnya tugas pemerintah itu sederhana, berikan pupuk dan obat yang murah kepada petani.
Itu lah satu-satunya solusi dari hilangnya lahan pertanian seperti di desaku. Itu pula satu-satunya harapan pengusaha tani akan benar-benar panen raya. Bapak sadar, hidup dengan masa mudanya terlalu payah.
Jika bukan dibantu nasib baik, seperti kesehatan dan beberapa keberuntungan di atas, mungkin masa tuanya berantakan. Hidup anak-anaknya tidak boleh seperti dirinya yang terlalu lelah.
Bapak memiliki dua harapan kepada pemerintah. Satu, petani mampu menghitung modalnya dan optimis mendapati margin keuntungan. Kedua, seperti harga motor yang relatif semakin murah, pemerintah harus membuat harga pupuk dan obat pertanian semakin murah.
Terakhir, agar tidak setiap Bapak di dunia ini seperti dirinya. Namun, berani mewariskan profesi petani kepada salah satu saja anaknya. Karena ia benar-benar yakin, petani adalah perniagaan yang dijamin keuntungannya.
Komentar
12 Aug 2020 - 18:51
Sejatinya, pada masa pandemi ini, petani harus segera diperhatikan kesejahteraannya oleh pemerintah. Andai saja, harga beras per kilo 40.000 maka banyak generasi muda yang akan bergairah untuk menjadi petani, salah satu profesi yang bertahan di masa pandemi ini.