Nyaris Rugi Rp 20 Juta Akibat IHSG Crash, Beginilah Ceritanya

Ilustrasi IHSG sedang memasuki tren bearish (Sumber Gambar: https://bisnis.com)

Like

Pengalaman ini sebetulnya belum lama terjadi, tapi kalau diingat-ingat, maka kesan yang ditimbulkannya begitu “membekas” di hati saya. Maklum, setelah beberapa tahun berinvestasi di pasar modal, baru kali ini, saya menyaksikan “crash” yang sangat “tajam” dan “kejam”. 

Betapa tidak, hanya dalam hitungan minggu, IHSG “terjun bebas” dari level 6000-an ke level 4000-an! Jika dihitung per hari, maka penurunan tadi bisa mencapai 2-5%. Bisa dibayangkan, kalau turunnya sedalam itu, maka bagaimana “nasib” saham-saham yang berada di dalamnya?
 

Penurunan IHSG akibat Pandemi Covid19 pada Bulan Maret 2020 (Sumber Gambar: Dokumentasi Adica Wirawan)


Peristiwa itu sebetulnya di luar perkiraan saya. Sebelumnya, saya sempat membaca prediksi dari beberapa analis bahwa pada tahun 2020, pasar saham kemungkinan bakal mengalami “guncangan hebat” akibat perang dagang yang berkepanjangan. 

Tanda-tandanya memang sudah terlihat sejak dua tahun lalu. Selama itu, pergerakan IHSG cenderung “jalan di tempat” karena investor kerap dibuat “galau berat” akibat “drama” peperangan tersebut. Alhasil, “rekor” tertinggi IHSG di level 6600 yang terjadi pada tahun 2017 pun sampai sekarang belum juga tembus.

Alasan lain yang menyokong prediksi tadi adalah “tradisi” bahwa setiap sepuluh tahun sekali pasar saham cenderung mengalami “crash”. Jika kita menelusuri sejarah, maka akan terlihat, pada tahun yang diakhiri angka 8 (misal tahun 1998 dan 2008), terjadi “crash” yang bikin investor morat-marit. 


Dengan demikian, maka seharusnya “crash” berikutnya bakal berlangsung pada tahun 2018. Meski begitu, karena satu dan lain hal, “crash” itu batal terjadi. IHSG selamat. Pasar saham pun “terbang” dalam euforia.

Namun, di tengah euforia tadi, mendadak muncul sebuah virus misterius pada akhir tahun 2019. Tentu saja, sebelumnya, tidak ada yang menyangka bahwa virus yang berasal dari sebuah kota kecil di Tiongkok ini bakal “mendunia” dalam waktu yang begitu cepat. Makanya, jangan heran kalau semuanya cenderung memandangnya sebelah mata, menganggapnya sebagai virus biasa, mirip influenza, yang akan segera berlalu. 


Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, ketika ada begitu banyak orang yang meninggal dunia akibatnya, barulah timbul kekacauan. Negara-negara di dunia jadi sibuk menangani jumlah pasien yang terus bertambah. Masyarakat sempat mengalami kepanikan. Kota-kota dilockdown. Roda bisnis terhenti sama sekali. Pasar saham pun merah membara.

“Loss, Loss, Loss”
Sialnya, ketika pada bulan Maret lalu, IHSG mengalami hal itu, mayoritas dana yang saya miliki ada di dalamnya! Akibat saham-saham yang saya pegang rontok harganya, maka saya pun terkena capital loss yang sangat dalam. Tidak tanggung-tanggung, dari keseluruhan dana yang saya investasikan, potensi loss yang saya alami nyaris 20 juta rupiah!

Tentu saja hal ini tidak begitu mengenakkan, terutama bagi “investor newbie” seperti saya. Jika menengok ke belakang, maka sebetulnya ini tahun kedua saya dalam menggeluti dunia saham. Saya memang baru berinvestasi saham sejak 2018 lalu. 

Saya ingat, karena dulu belum begitu mengenal pasar saham, maka nilai investasi awal saya relatif kecil, sekitar 20 juta rupiah saja. Dengan modal tersebut, saya membeli beberapa puluh lot saham perusahaan jamu dan perusahaan elektronik. 

Mungkin pada waktu itu, Dewi Fortuna sedang “berbaik hati” pada saya. Sebab, dari kedua saham tadi, ternyata saya bisa memetik keuntungan sekitar 20?lam waktu 6 bulan saja. Tentu saja saya merasa senang. Jika dibandingkan dengan deposito atau obligasi, maka saham jelas lebih unggul dalam hal tingkat keuntungan dan durasi investasi; dan hal itu sudah saya rasakan sendiri.

Pengalaman berkesan itu kemudian "menggoda" saya untuk menambah modal investasi. Mungkin terkesan “greedy”, namun yang terpikir oleh saya ialah bagaimana cara membikin uang yang saya punya menjadi lebih produktif. Sebab, kalau uang saya cuma disimpan di bank, maka bunga yang didapat kecil sekali. Beda kalau saya simpan uang tadi dalam bentuk saham. Uang saya bisa bertumbuh lebih banyak dan lebih cepat.

Namun, sayangnya, harapan saya untuk mendulang untung seperti sebelumnya mesti “berseberangan” dengan kenyataan yang terjadi. Meskipun sudah memilih saham dengan cermat, sehingga saya yakin betul bahwa kemujuran yang sama bakal menghampiri saya, namun ternyata kemunculan Pandemi Covid19 sukses mengubah nasib investasi saya. Portofolio yang tadinya sempat “hijau royo-royo” berubah menjadi “merah padam”.

Meskipun pada waktu itu, kondisi pasar sedang hancur-hancuran, namun saya tidak bisa melepas saham-saham saya begitu saja. Kalau saya ikut-ikutan panik, dan langsung jual saham saya yang mulai melorot harganya, maka saya takut terlihat “bodoh”; sebab bisa saja, beberapa hari atau minggu kemudian pasar pulih dan harga sahamnya kembali ke posisi awal! 

Makanya, saya pun berupaya tegar, terus berpikir dengan tenang, dan berpedoman pada fundamental perusahaan dalam mengambil keputusan, meskipun di sisi lain, saya juga mesti menerima kenyataan bahwa potensi kerugian yang saya tanggung sangatlah besar (sampai melebihi beberapa kali lipat keuntungan yang saya dapat dari investasi sebelumnya)!

Selain itu, pekerjaan saya pun ikut tersendat akibat Pandemi Covid19. Karena ada beberapa proyek yang batal, maka saya sempat mengalami penurunan pendapatan. Cadangan kas yang saya punya pun menipis. Dalam situasi demikian, situasi saya ibarat pepatah “Sudah jatuh tertimpa tangga”; sudah investasi jeblok, pendapatan macet pula!

“Turnaround”
Jika menghadapi situasi demikian, mungkin investor lain bakal panik menjual semua sahamnya dalam posisi loss dan mengucapkan “sayonara” kepada pasar modal, tapi tidak demikian dengan saya. Alih-alih terbawa kepanikan, yang saya lakukan ialah menjaga kepala dan hati saya tetap dingin. Saya tahu, kalau saya mengambil keputusan dalam kondisi kepala dan hati yang panas, maka hasilnya biasanya berujung pada kekacauan!

Oleh sebab itu, saya terus memantau kondisi pasar saham. Saya rutin membaca banyak berita dari berbagai media, di antaranya Bisnis.com, sebab media ini menyajikan informasi tentang situasi pasar saham secara kredibel dan komprehensif. Lewat berita-berita yang disampaikan Bisnis.com, saya jadi tahu perkembangan bursa saham, sehingga bisa menyusun strategi investasi berikutnya.

Strategi yang saya terapkan kemudian ialah “rebalancing portofolio”. Hal ini baru dilakukan setelah emiten merilis Laporan Keuangan Kuartal 1 tahun 2020. Jika ada emiten yang bisnisnya terdampak Covid19, maka saya memutuskan menjual sebagian atau seluruh sahamnya. 

Uang hasil penjualan tadi tidak langsung dicairkan, tetapi dibelikan saham lain yang menarik. Maklum, ketika IHSG “crash”, maka kita bisa menemukan banyak sekali saham bagus yang dihargai begitu murah. Alhasil, meskipun masih loss, tapi saya tetap melepas beberapa saham lama, untuk kemudian ditukar dengan saham baru yang kinerjanya bagus dan valuasinya murah.
 
Strategi ini sebetulnya tidak bebas risiko. Sebab, bagaimana kalau saham baru yang saya pilih ternyata tidak naik harganya seperti yang diharapkan, mengingat pasar saham masih dibayangin kecemasan dan kekhawatiran? Jika hal itu sampai terjadi, bukankah situasinya akan sama saja, atau bahkan lebih buruk? 

Meski risiko tadi tetap terbuka, namun saya tidak punya pilihan lain. Barangkali inilah satu-satunya cara yang bisa saya lakukan untuk membalikkan keadaan. Daripada hanya duduk diam menanti perubahan, lebih baik saya aktif mencari peluang investasi yang bagus. Dengan begitu, siapa tahu, semuanya bakal berubah ke arah yang lebih baik.

Untungnya, harapan saya terjawab. Keadaan yang tadinya stagnan mulai pulih, seiring dengan diberlakukannya kebijakan New Normal. Pasar saham pun bangkit dari pandemi, dan saham baru yang saya beli pelan-pelan “unjuk gigi”. 

Dalam beberapa minggu saja, saham tadi melesat harganya, membikin loss yang saya alami berkurang. Alhasil, keadaan portofolio saya pun membaik.

Saat blog ini ditulis, saya masih menyimpan saham-saham saya. Saya merasa belum waktunya menjualnya, meskipun kekhawatiran bahwa IHSG bakal “rontok” seperti sebelumnya tetaplah terbuka. Sebab, saya percaya perekonomian Indonesia bisa bangkit dari pandemi.

“Wisdom”
Dari investasi kali ini, saya jadi belajar 3 hal.
  1. Pasar saham itu seperti sebuah “teka-teki”, yang begitu sulit diprediksi. Apapun bisa saja terjadi, sehingga investor yang “bermain” di dalamnya mesti siap menerima semua kemungkinan yang bakal muncul, baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan.
  2. Kalemlah ketika yang lain panik. Mungkin ini lebih gampang diucapkan daripada dilakukan. Namun, sikap ini justru menjadi “titik kritis” yang menentukan nasib investasi yang kita lakukan. Andaikan dulu saya cepat gusar menanggapi situasi pasar yang sedang “bearish”, maka mungkin saja, kerugian yang saya alami bakal membengkak.
  3. Menyiapkan dana cadangan sama pentingnya dengan menyiapkan modal investasi. Saya cukup mujur karena masih punya dana cadangan, sehingga dalam situasi yang paling sulit sekalipun, saya masih bisa menggenggam saham-saham saya. Dengan demikian, sebelum memasukkan banyak uang ke pasar saham, sebaiknya kita memiliki dana cadangan yang cukup untuk berjaga-jaga.
Akhir kata, saya ingin mengutip satu kalimat dari seorang Fund Manager Fidelity, yakni Peter Lynch. Menyangkut soal investasi saham, dalam bukunya yang berjudul “Beating The Street”, Lynch pernah berkata,

“Nobody can predict interest rates, the future direction of the economy, or the stock market. Dismiss all such forecasts and concentrate on what’s actually happening to the companie in which you’ve invested.”

Salam.

*** Noted: untuk sementara beginilah kondisi portofolio saya setelah di-rebalancing.

 

Hasil Strategi "Turnaround" Investasi yang Saya Terapkan (Sumber Gambar: Dokumentasi Adica Wirawan)