Victoria’s Secret Collective, Transformasi ke Arah Pemberdayaan Perempuan

Victoria's Secret Collective Illustration Web Bisnis Muda - Canva

Like

Victoria’s Secret Angels yang biasa kita kenal memiliki tubuh ramping layaknya barbie, sudah tidak ada lagi lho, Be-emers! Kini, Victoria’s Secret memiliki wajah baru yang lebih berani.

Perubahan ini diharapkan dapat membantu Victoria’s Secret terhubung kembali dengan para perempuan yang sudah bosan dengan standar kecantikan yang mengutamakan fisik, yang dikemas menjadi Victoria’s Secret Collective.
 

Bagaimana sih awal perjalanan Victoria’s Secret?

Bagi beberapa dari Be-emers mungkin sudah tidak asing lagi dengan nama Victoria’s Secret. Selama beberapa dekade, brand ini memang identik dan lekat dengan kata ‘seksi’.

Lahir dari cerita unik dari sepasang suami istri, Roy dan Gaye Raymond, ide awalnya muncul dari pengalaman Roy, sang suami, yang sedang berbelanja lingerie untuk hadiah istrinya. Ia merasa tidak nyaman saat mencari dan memilih baju dalam untuk istrinya.

Berawal dari pengalaman itulah akhirnya Roy memiliki ide untuk membuka toko yang khusus menjual pakaian dalam wanita tanpa kesan mengintimidasi pria, sehingga para suami bisa dengan nyaman mencari hadiah untuk istri mereka.

Roy Raymond yang memang seorang pengusaha, menggunakan $80.000 (Rp) sebagai modal awal dan membuka beberapa gerai Victoria’s Secret di Amerika.


Di tahun 1980an, Victoria’s Secret mengalami masalah sehingga hampir bangkrut, yang akhirnya dibeli dan diselamatkan oleh Lex Wesner.

Nah, setelah diambil alih oleh Lex Wesner, konsep dasar dari Victoria’s Secret ini juga turut berubah, yang lebih mengusung konsep untuk wanita, yang menjual tak hanya pakaian dalam dan lingerie, namun juga kebutuhan body care wanita mulai dari parfum, sampo, sabun, dan lain sebagainya.
 

Lalu, kenapa berubah?

Identitas baru dari Victoria’s Secret ini menjadi upaya untuk mendefinisikan kembali versi ‘seksi’ yang mereka wakilkan (dan juga jual) kepada konsumen. Dengan budaya dan beauty standard yang telah berubah, Victoria’s Secret ingin menjadi brand global terkemuka yang mendukung pemberdayaan perempuan.

Martin Waters, selaku CEO dari Victoria’s Secret saat ini, mengatakan bahwa perusahaan akan berhenti membuat produk wanita yang diinginkan pria, dan fokus total terhadap apa yang wanita inginkan.

Baca Juga: Victoria’s Secret Akan Dipisahkan dari Merek Induknya. Kenapa Ya?
 

Bagaimana konsep terbarunya?

Victoria’s Secret Collective mengusung 7 model sebagai wajah dan representasi kekuatan perempuan. Ketujuh wanita itu adalah Megan Rapinoe, pemain sepak bola profesional, lalu ada Paloma Elsesser, plus size model, dan Valentina Sampaio, yang merupakan aktris dan model transgender. Selain itu, ada juga aktris Priyanka Chopra Jonas, juara dunia ski berusia 17 tahun Eileen Gu, model Adut Akech, dan Amanda de Cadenet.

Dengan keberagaman tersebut, VS Collective akan menghancurkan pandangan tentang beauty standard yang mementingkan fisik seseorang, menjadi lebih modern yang mengedepankan power, keberanian, dan pencapaian dari masing-masing wanita.

Namun, perubahan besar-besaran ini dinilai terlihat seperti taktik pemasaran yang ‘sinis’. Tidak mudah untuk menghilangkan image seksi yang sudah lama menjadi identitas dari Victoria’s Secret.

Terlebih lagi, banyaknya pesaing yang lebih inklusif dan autentik dalam kampanye women empowerment ini. Victoria’s Secret harus mampu mengatasi kesenjangan kredibilitas jika ingin memenangkan hati para konsumen wanitanya.

VS mengatakan bahwa mereka menciptakan kembali dirinya sendiri untuk mendengarkan para konsumen yang menginginkan versi berbeda dari apa yang biasa disebut cantik dan seksi.

Dengan dibentuknya VS Collective, jangkauan produk semakin diperluas, mulai dari pakaian dalam big size, hingga pakaian dalam khusus wanita hamil dan menyusui, yang sebelumnya tidak ditawarkan oleh Victoria’s Secret yang lama.

Nah Be-emers, menurut kamu, versi Victoria’s Secret yang mana nih yang lebih oke?

Baca Juga: Victoria's Secret Pinjam US$500 Juta, untuk Apa Ya?