Boncos Saat Pandemi? Mereka Malah Memilih Jadi Sociopreneur

ilustrasi sociopreneur (sumber: canva)

Like

Maret 2020, kehadiran virus corona mengubah banyak hal di Indonesia, pun dunia. Meski sebenarnya, virus ini diketahui ada sejak akhir tahun 2019. Kebijakan harus diambil. Semua harus berperan, tidak hanya pemerintah.

Berbagai istilah ‘baru’ bermunculan, seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Setiap orang diingatkan untuk mengarantina diri di rumah.

Tetap belajar meski tidak pergi ke sekolah, learn from home. Tetap bekerja tapi tidak ke kantor, work from home. Lalu bagaimana dengan para pencari nafkah yang setiap pagi harus keluar rumah dan bertemu pelanggan?

Roda ekonomi tengah diganjal. Pergerakan untuk berputar ngos-ngosan. Misalnya saja, restoran. Restoran tutup. Pekerja di-PHK dan diberi pesangon seadanya. Syukur yang masih dikasih pesangon. Ada pula yang lepas begitu saja.

Anak menangis kelaparan. Tidak ada pilihan selain mengurangi kebutuhan meski sehari-hari hanya mengeluarkan uang untuk kebutuhan pokok. Demi keamanan dari lilitan hutang, kebutuhan pokok pun dikurangi. Warung yang biasa ramai pun sepi karena pelanggan setianya tak punya cukup penghasilan.


Di sisi lain, supplier sayuran ke restoran tersebut, mau tidak mau harus berhenti menyuplai. Jika memaksa pun, pihak restoran tidak bisa membayar tanpa pemasukan. Padahal, petani sayur harus tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan harian. Namun restoran yang biasa menjadi pelanggan besar, kali ini tidak bisa jadi harapan.

Suatu hari saya membuka handphone, klik aplikasi WhatsApp. WhatsApp menjadi media komunikasi online yang populer dan banyak teman berkumpul di sana. Grup sekolah, grup komunitas, grup komplek, grup keluarga. Grup apakah yang belum ada di Whatsapp Anda?

Handphone tidak pernah sepi notifikasi. Hingga peraturan grup dibuat untuk membatasi pembicaraan yang tidak sesuai tujuan dibuatnya grup. Muncul jadwal market day, yang tidak satu dua grup yang saya miliki menjadwalkannya. Market day, hari di mana setiap anggota grup dapat mempromosikan jualannya.

Tak menyangka, saya menemukan banyak orang baik. Di saat pandemi, kaki tertatih untuk berjalan, bahkan merangkak. Bermunculan sociopreneur-sociopreneur dari dalam rumah.

Ternyata, beberapa orang lain yang saya kenal pun melakukannya. Mereka melakukan bisnis tidak semata untuk menghasilkan keuntungan pribadi, namun juga kesejahteraan di sekitarnya.

Beberapa contoh bisnis sociopreneur di kala pandemi:

  1. Jual sayur online dari hasil kebun kerabat
    Seperti contoh kasus restoran di atas, Saya ambil dari kisah salah seorang yang mempromosikan sayuran yang tidak habis terjual karena biasanya dibeli oleh pihak restoran. Ada pula yang menjual sayuran dari kebun orangtuanya sendiri, memulainya dengan menawarkan kepada teman kemudian mempromosikan di Instagram.

    Pembeli yang tidak bisa pergi ke luar rumah, merasa terbantu karena hanya perlu transfer, dan sayur pun diantar ke rumah. Kerabat yang petani pun bisa mendapatkan penghasilan.
     
  2. Jasa service komputer online dengan jasa ekspedisi tetangga
    Service komputer yang biasa saya temui ada di ruko, mall, atau semacamnya. Namun, saat Covid-19 merebak, aktivitas sosial di luar rumah berkurang. Bahkan, sejenis mall sempat ditutup beberapa waktu.

    Yang biasanya pelanggan harus datang ke tempat penyedia jasa service, kini tidak perlu repot pergi ke luar rumah. Tinggal menghubungi kontak penyedia jasa service, komputer/laptop yang rusak bisa dijemput dan diantar setelah selesai diperbaiki.

    Di sini, muncul kebutuhan ekspedisi untuk antar jemput. Tetangga yang kehilangan pekerjaan bisa ikut andil menjadi penjemput dan pengantar barang sehingga memperoleh manfaatnya juga.
     
  3. Jual buku sekaligus jasa pinjam buku gratis
    Karena masyarakat tidak banyak bepergian ke luar rumah, tidak sedikit penjual menjajakan dagangannya di media sosial ataupun market place. Iklan tidak banyak memberikan dampak.

    Perang harga menjadi hal yang begitu mencekam, apalagi bagi pemilik modal pas-pasan. Yang menarik, ada seorang penjual buku namun sekaligus meminjamkan bukunya secara gratis hanya membayar ongkos kirim dan antar.

    Pandemi membuat siswa belajar di rumah. Buku sebagai sumber ilmu pun sangat dibutuhkan, apalagi bagi yang tidak mampu membeli. Dari peminjaman tersebut, orang mengerti nilai dari buku yang dipinjamnya.

    Bagi yang ingin memiliki pun tak segan untuk membeli. Sehingga, selain sebagai peminjam jatuh cinta jadi pelanggan yang membayar. Sang penjual berhasil membangun brand sebagai penyedia buku berkualitas. Bisnisnya pun tetap berjalan tanpa terlibat perang harga.
     
  4. Membuka les online dengan sebagian penghasilan untuk donasi terdampak Covid-19.
    Kondisi pandemi membuat orang-orang yang biasa mengajar bimbel membuka diri untuk mengajar secara online. Ada di antaranya yang mengadakan penggalangan dana dari jasa mengajarnya sebagai tutor Bahasa Inggris, kemudian disalurkan untuk pihak terdampak Covid-19.
     
  5. Jual makanan dan penggalangan bantuan
    Mirip dengan contoh yang sudah disebutkan, pandemi memberikan peluang usaha untuk menjual makanan secara delivery order. Apalagi, banyak yang harus bekerja di rumah dan tidak memungkinkan untuk memasak sendiri.

    Belum lagi, pekerjaan domestik dan harus membersamai buah hati selama learn from home. Penggalangan bantuan yang saya temui pada beberapa teman disalurkan untuk pengemudi ojek online dan angkutan umum.
     
  6. Kursus masak online sebagian penghasilan untuk anak yatim dan dhuafa penghafal quran
    Ada yang memilih menyediakan makanan di rumah dengan membeli. Ada pula yang memilih memasak sendiri. Pilihan yang nama saja sah-sah saja bukan?

    Seperti artikel yang pernah saya baca, di rumah saja berlarut-larut menyebabkan kejenuhan tersendiri.

    Nguplek’ di dapur bisa jadi obat bosan. Di rumah pun bisa semakin produktif dengan mengasah kreativitas memasak. Kursus memasak online pun banjir peminat.

    Sang pemilik tidak segan untuk menambah karyawan sebagai konsultan di saat yang lain harus terpaksa melepaskan karyawan. Menu kursus semakin bertambah. Sebagian penghasilannya disalurkan untuk anak yatim dan duafa penghafal quran.
     
  7. Jasa Foto Produk dan gratis biaya untuk UKM terpilih
    Ketika setiap orang banyak yang memanfaatkan kondisi untuk berjualan online, foto produk pun bertebaran. Ya, karena penjual dan pembeli tidak bertemu langsung. Untuk menarik pembeli, penjual mengenalkan barangnya melalui foto produk.

    Peluang ini sangat bermanfaat bagi yang biasa membuka jasa foto. Di saat tidak ada acara pernikahan dan semacamnya, ternyata ada peluang lain.

    Ada salah seorang pemilik jasa foto yang kemudian memberikan kesempatan bagi pemilik usaha kecil menengah yang sedang mengalami ‘kesempitan’ untuk foto produk gratis. Barangkali ini adalah hal sederhana namun bagi orang tertentu sangat bermakna.
Di atas hanya sedikit contoh dari banyak bisnis sociopreneur yang bertebaran. Barangkali ada yang mau berbisnis dari hobi, dikutip dari bisnismuda.id
"Sering kali bisnis hobi adalah cara ideal untuk memulai karena Anda sudah tahu bagaimana melakukannya, sehingga memperpendek kurva belajar dan waktu untuk memulai."
Yuk bangkit dan jadi bagian dari mereka. Semoga langkah kita kuat menanjak!