Tanpa Disadari, Semua dari Kita Bisa Masak

Mentai menjadi menu yang berhasil saya buat kala karantina mandiri sewaktu pandemi. (Dok.pribadi)

Mentai menjadi menu yang berhasil saya buat kala karantina mandiri sewaktu pandemi. (Dok.pribadi)

Like

Kebosanan hampir dialami semua orang selama masa pandemi Corona. Aktivitas menjadi terbatas di rumah saja. Beribadah di rumah, bekerja dari rumah, mencari hiburan di rumah, belajar di rumah, dan semua aktivitas dilakukan dari rumah.

Pergerakan menjadi terbatas demi terhindar dari penyakit ini. Inilah yang kita alami sekarang ini, terkungkung di rumah saja demi memutus rantai penularan virus Corona. Kita tidak sebebas sebelum wabah ini melanda.

Kondisi ini rentan melahirkan gangguan kesehatan mental, terutama buat orang-orang yang tinggal sendiri dan jauh dari keluarga. Bertahan dan kuatlah kalian, para perantau yang bertahan di kamar-kamar kos yang terbatas fasilitasnya.

Keakraban komunikasi yang biasanya bisa terjalin secara langsung, kini semakin berkurang intensitasnya. Hanya bisa melalui media sosial dengan bantuan layar gawai. Percakapan dan pertemuan dengan manusia semakin minim. Saking tidak tahunya harus berbincang dengan siapa, mungkin tembok kamar kos jadi teman bercerita yang tak bakal merespons.

Saya memahami itu. Daripada terus-menerus merutuki kesendirian dan kejenuhan ini, yuk mulai aktif berkegiatan untuk melampiaskannya. Memasak bisa jadi salah satu opsi untuk memecah kebuntuan selama karantina mandiri ini.


Terlihat dari pantauan media sosial, beberapa orang mulai menikmati aktivitas memasak. Sejujurnya, saya termasuk orang yang enggan untuk memasak. Alasan pertama: sebagai anak kos, memasak terasa lebih merepotkan dibandingkan harus beli makan. 

Banyak promo makanan yang ditawarkan penyedia jasa antar seperti Grab Food dan Go Food. Bayangkan saja, saya bisa mendapat makanan yang harga awalnya Rp50ribu, lalu harganya turun menjadi Rp25ribu ketika dapat promo. Ini angin segar buat individu malas masak seperti saya.

Saya tinggal pilih restoran yang menyajikan makanan dengan harga terjangkau agar bisa membeli banyak makanan dengan harga murah. Jatah anggaran untuk sekali makan yang bisa dibelanjakan untuk beli 2 porsi makanan. Siasat jitu yang terus saya terapkan.

Alasan lain mengapa saya enggan untuk bertandang ke dapur kosan untuk masak adalah saya malas ribet. Proses memasak itu ibarat perang, membutuhkan kesiapan dan perencanaan matang pada setiap fasenya: sebelum, saat, dan sesudah memasak. Sebelum memasak, tentunya saya harus berbelanja bahan-bahannya seperti lauk mentah, sayuran, bumbu, dan harus memastikan peralatannya mendukung.

Setelah semuanya tersedia, saya harus membersihkan semua bahan tersebut agar masakan saya terjamin higienisitasnya. Toh tujuan memasak adalah agar asupan makanan yang masuk ke lambung benar-benar sehat dan bergizi.

Belum lagi jika peralatan masak belum dicuci setelah dipakai terakhir kali. Sungguh sudah terbayang repotnya dan berapa waktu yang dibutuhkan. Padahal, saya hanya membutuhkan waktu kurang dari 30 menit untuk melahap semua makanan itu.

Namun akhirnya, semua ketidaksukaan saya terhadap memasak terpatahkan selama masa isolasi mandiri ini. Saya sudah mulai masak kadang-kadang. Untuk sekadar menuntaskan rasa penasaran karena terlalu banyak video memasak yang berseliweran di linimasa media sosial. Atau karena dilanda kebosanan dengan menu yang itu-itu saja yang saya pesan dari aplikasi katering.

Dari memasak inilah saya jadi tahu, tidak ada yang namanya tidak bisa. Semua itu tergantung bagaimana niatnya dan cara menjalankannya. Bisa dibilang, saya termasuk pemula untuk urusan masak. Hingga umur sekarang saja, saya tidak pernah membantu ibu saya memasak makanan saat di rumah.

Saya selalu menghindar ketika sudah melihat ibu saya mengupas bawang atau sekadar memotong daun bayam dari tangkainya, karena malas disuruh untuk membantu.

Kecepatan saya dalam aktivitas memasak dan dapur pun bisa dikatakan lemah. Saya butuh waktu lebih lama dibandingkan orang-orang pada umumnya untuk sekadar memisahkan daging kentang dari kulitnya.

Namun saya tak pantang menyerah. Lambat-laun saya menemukan keasyikan tersendiri ketika memasak. Meski keringat bercucuran dan harus membereskan peralatan berantakan setelahnya.

Cuman, kalian jangan mengira terlalu jauh soal kemampuan memasak saya saat pandemi ini. Semuanya masih alakadarnya. Berbekal menonton video tutorial memasak praktis yang ada di Youtube atau mempraktikan kiat mudah meracik makanan yang tersebar di video Tiktok.

Sejauh ini, makanan yang saya hasilkan masih berkutat dengan menu-menu simpel. Seperti sayur bayam, bakwan jagung, olahan sarden, sosis, dan resep-resep ala anak kos yang berhasil saya duplikasi.

Saya juga sukses meniru beberapa hidangan penutup kekinian berbahan dasar sederhana, seperti kukis oatmeal, mango dessert box, puding manga, dan brownies oreo. Itu saja sudah berhasil membuat saya sangat bangga dengan diri sendiri.

Ternyata, memasak itu melahirkan kepuasan tersendiri. Saya menjadi membuktikan bahwa semua orang bisa masak.

Jika gagal di awal-awal, itu hal yang lumrah. Tinggal bagaimana kita bangkit dari keterpurukan itu, ingin tetap tersungkur atau memulai kembali setelah intropeksi? Pertanyaan itulah yang harus dijawab.

Jadi, mau dimasakin apa sama saya?