Petani Milenial Tidak Selalu Mencangkul Sawah

Like
Menjadi petani di era sperti saat ini, bukan hanya tentang bekerja di ladang dan harus berpanas-panasan. Banyak petani muda saat memiliki peran sebagai agripreneur, atau pengusaha yang berkecimpung di bidang pertanian. Mereka mengelolah bisnis di sektor pertanian dari hulu hingga ke hilir, mulai dari proses pembudidayaan, proses pengolahan, hingga pendistribusian. Beberapa dari merek bahkan merambah ke sektor edukasi agriculture, misalnya menjadi content creator seputar dunia pertanian yang menarik dan memiliki engagmement di sosial media seperti platform YouTube, Instagram, dan TikTok. Mereka selalu membagikan pengetahuan, memberikan inspirasi, hingga membangun komunitas petani muda yang memiliki visi yang sama untuk saling mendukung satu sama lain.

Akan tetapi tentu saja, bidang apapun yang kita geluti tidak pernah luput dari masalah dan tantangan. Sampai saat ini, masih melekat stigma bahwa menjadi seorang petani adalah pilihan terakhir atau profesi yang “tidak trendy” bagi anak muda zaman now. Oleh sebab itu, sangat penting untuk mengubah cara pola fikir (mindset) masyarakat. Baik di tingkat pemerintahan, lembaga pendidikan, pihak swasta dan media (triple helix), dianggap memiliki peran penting dalam mempromosikan pertanian sebagai bidang yang menjanjikan untuk masa depan. Beberapa upaya dan peran pemerintah misalnya menyediakan anggaran dalam memberikan fasilitas kepada petani muda dalam bentuk beasiswa, pelatihan, akses modal, hingga dukungan teknologi.

Contoh konkret yang telah dilakukan oleh PT. Pupuk Kaltim.Tbk dalam mendukung pertanian “melalui berbagai program Corporate Social Responsibility (CSR) yang fokus pada pertanian, termasuk program "PISANG EMAS" yang memberikan pendampingan tata kelola lahan dan antisipasi penyakit tanaman pisang. Mereka juga mendukung UMKM, pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan bidang lainnya melalui program "TJSL" senilai Rp23,3 miliar, program CSR lain seperti Pupuk Kaltim Green Initiative dan beberapa lainnya”. (Sumber: https://www.pupukkaltim.com/en/program-tjsl).

Negara kita membutuhkan regenerasi petani. Dikutip dari Badan Pusat Statistik, sebuah data survei terbaru dari Sensus Pertanian 2023 menunjukkan bahwa mayoritas petani di Indonesia berusia di atas 55 tahun. Proporsi petani generasi X (43-58 tahun) mencapai 42,39 persen, diikuti oleh petani baby boomer (59-77 tahun) 27,61 persen dan petani milenial (27-42 tahun) 25,61 persen. Hal ini menandakan adanya tren penuaan di sektor pertanian. Dari data tersebut, memberikan gambaran bahwa ke depannya sangat mengkawatirkan jika tidak ada regenerasi mulai saat ini. Krisis pangan bisa menjadi ancaman nyata. Di sinilah diperlukan peran anak muda dengan kreativitas, keingintahuan yang tinggi, semangat inovasi serta kemampuan dalam memanfaatkan teknologi, mereka dapat menjadi tulang punggung baru pertanian nasional di masa akan datang.

So, menjadi petani millenial tidak melulu harus mencangkul sawah setiap hari. Menjadi petani muda dapat bekerja dari depan layar komputer, melalui smartphone, mengelola bisnis pertanian, menciptakan solusi berbasis digital, dan tetap bisa memberi kontribusi nyata bagi ketahanan pangan bangsa kita. Petani millenial tidak harus berkubangan lumpur dan mencangkul di ladang sawah tetapi harus cerdas membaca dan memanfaatkan peluang apalagi saat ini, petani millenial harus cerdas dan dapat membangun relasi lintas sektor.