Ada Regulasi Baru OJK, Gimana Dampaknya bagi Fintech P2P Lending?

Fintech - Canva

Fintech - Canva

Like

Perkembangan perusahaan financial technology (fintech) di Indonesia terus bertumbuh pesat nih, Be-emers. Dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per September 2020, sudah ada 156 perusahaan fintech yang terdaftar dan berizin.

Selain itu, lender yang aktif di fintech dalam negeri didominasi sama milenial lho! Sebanyak 67,69 persen lender fintech berusia 19-34 tahun.

Di sisi lain, OJK juga tengah mempersiapkan regulasi baru terkait fintech nih, Be-emers. Terutama, terkait sektor Peep-to-Peer (P2P) Lending.

Lalu, gimana dampaknya ke P2P lending?

Baca Juga: Mau Dapat Passive Income Optimal dari P2P Lending? Ini Tipsnya
 

Penyelenggara Sulit Penuhi Persyaratan

Menurut Deputi Direktur Pengaturan, Penelitian dan Pengembangan Fintech OJK Munawar Kasan, dikutip dari Bisnis, dengan adanya regulasi tersebut, tentunya pasti ada sebagian perusahaan yang sulit memenuhi tuntutan persyaratan penyelenggara usaha yang lebih ketat.


Munawar menilai, dengan adanya sejumlah persyaratan penyelenggaraan usaha yang baru P2P lending, pasti ada beberapa penyelenggara yang enggak bisa memenuhi dan butuh konsolidasi. Untuk itu, di regulasi baru tersebut, pihaknya juga mengakomodasi mekanismenya nih, Be-emers.
 

Akan Ada Tren Merger dan Akuisisi

Di sisi lain, menurut Ketua Umum AFPI sekaligus Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi, tren merger dan akuisisi tentu terjadi secara alamiah di semua industri, tak terkecuali buat industri fintech P2P lending.

Makanya, pihak AFPI pun justru mengapresiasi banyak hal yang OJK akomodasi dalam regulasi baru tersebut, salah satunya terkait merger dan akuisisi.

Sementara itu, Adrian juga optimistis kalau industri ini masih sangat diincar investor. Soalnya, P2P lending dengan pangsa pasar kecil namun telah legal, dinilai enggak akan kesulitan mencari investor atau partner strategis untuk memperkuat bisnisnya.

meski begitu, platform P2P lending juga harus punya skema bisnis dan tim manajemen yang menjanjikan. Selain itu, pengelolaan arus kasnya juga harus bisa meyakinkan investor, bahwa bisnisnya sebagai startup tak sekadar bakar uang.
 

Ketimpangan dan Beleid RPOJK

Adapun, regulasi tersebut tentunya dibuat dengan mempertimbangkan banyak hal nih, Be-emers.

Munawar mengungkapkan,  struktur industri P2P lending masih terbilang timpang. Soalnya,  dari total 154 penyelenggara usaha P2P lending, 80 persen pangsa outstanding masih hanya dikontribusikan oleh 21 penyelenggara.

Dengan begitu, 133 platform lain hanya berkontribusi di pangsa outstanding 20 persen. Selain itu, 10 penyelenggara fintech P2P lending teratas ternyata hanya berkontribusi hingga 61,68 persen dari pangsa outstanding keseluruhan lho!

Perlu kamu ketahui juga, terdapat beberapa aturan baru terkait fintech lending dalam beleid Rencana Peraturan OJK tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi tersebut.

Salh satunya, penyelenggara fintech lending wajib punya modal yang disetor paling sedikit sebesar Rp15 miliar pada saat perizinan. Nah, nilai itu meningkat dibandingkan ketentuan sebelumnya, yakni sebesar Rp2,5 miliar.

Selain itu, beleid RPOJK ini juga menambahkan aturan yang sebelumnya belum ada, yaitu mewajibkan penyelenggara memberikan pendanaan kepada sektor produktif paling sedikit 40 persen dari outstanding pembiayaan secara bertahap dengan batas maksimal tiga tahun mendatang.

Baca Juga: Jangan Asal Utang, Begini Tips untuk Milenial yang Mau Manfaatkan Kredit Fintech