Sociopreneur, Jangan Salah Kaprah!

Usup Supriatna, Local Heroes dari Pantura Jawa Barat (sumber: Maria G Soemitro)

Usup Supriatna, Local Heroes dari Pantura Jawa Barat (sumber: Maria G Soemitro)

Like

“Sebagai sociopreneur, saya berencana kelak sebagian keuntungan akan saya salurkan untuk kegiatan sosial … “ kata seorang pebisnis muda dalam suatu wawancara.

Pemahaman sang pebisnis muda tersebut kurang tepat. Jika hanya sebagian laba yang disisihkan untuk kegiatan sosial, apa bedanya dengan perusahaan swasta seperti Sinar Mas, Danone, Astra dan masih banyak lainnya?

Sinar Mas Land misalnya menyalurkan bantuan APD bagi team medis  (sumber). Alat Pelindung Diri (APD) sangat dibutuhkan dalam menghadapi pandemi Covid 19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020, dan hingga kini belum ada tanda akan berakhir.

Bantuan Sinar Mas Land merupakan bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR). Sesuai ketentuan, secara periodik perusahaan swasta menyisihkan labanya dalam pos CSR. Setelah mendeteksi masalah sosial/lingkungan/budaya yang terjadi, departemen CSR akan  menyalurkan dana  tersebut.
Jumlah dana CSR tentu saja sangat kecil dibanding laba perusahaan secara keseluruhan. Peruntukannyapun kerap dikaitkan dengan aktivitas perusahaan.

Sangat berbeda dengan sociopreneur yang justru fokus mengatasi masalah yang terjadi.  Karena itu butuh pemahaman yang tepat agar pengorbanan waktu, tenaga dan dana dapat digunakan secara efisien dan seefektif mungkin.  Tujuan mulia sociopreneur pun dapat tercapai.


Terlebih di saat pandemi covid 19, banyak masalah social/lingkungan bermunculan.
Menurut socialenterprise.org.uk, seorang pebisnis bisa dikategorikan sebagai sociopreneur jika:
  • Mencantumkan misi sosial/lingkungan dalam AD/ART.
  • Memiliki bisnis mandiri dan memperoleh penghasilan, lebih dari setengahnya dari usaha perdagangan.
  • Menginvestasikan kembali, atau setidaknya setengah dari keuntungan untuk misi sosial/lingkungan
  • Memiliki laporan transparan terkait operasional dan dampak misi sosial/lingkungan yang telah dilaksanakan.
Penjelasan di atas menjernihkan kerancuan antara sociopreneur dengan entrepreneur dalam mengalokasikan labanya. Juga membedakan sociopreneur dengan  kegiatan bisnis yang dibiayai dana hibah.

Contoh kasus: kelompok pembuat masker kain selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang kini marak. Para pembuat masker kain mendapat upah dari dana bantuan. Kegiatan mereka tidak  termasuk dalam komunitas sociopreneur (kewirausahaaan sosial), karena apabila dana bantuan dihentikan, aktivitas mereka terhenti pula.

Namun bukan berarti seorang sociopreneur tidak boleh  mendapat bantuan dana dari  lembaga/perusahaan swasta /BUMN. Asalkan penghasilan, atau minimal lebih dari setengah penghasilan, diperoleh secara mandiri, maka aktivitasnya termasuk dalam kewirausahaan sosial.

Usup Supriatna, “local heroes” dari Pantura Jawa Barat merupakan contoh sociopreneur yang mendapat bantuan. Kiprahnya membudidayakan rumput laut dan menyejahterakan penduduk membuat Pertamina EP Tambun tertarik mengalokasikan dana CSR untuk membangun gudang dan membeli mesin pakan ikan.

Usup Supriatna, Local Heroes dari Pantura Jawa Barat

"Dulu mah, penghasilan kami hanya 6 bulan sekali, hanya saat panen ikan bandeng. Sekarang, selain ikan bandeng, kami juga panen rumput laut 2 bulan sekali,” kata dua orang petani tambak yang saya temui di Kawasan Pantura.

Mereka juga menunjukkan hamparan tambak,  yang disewa dan dimiliki Usep Supriatna, sosok bertubuh kecil, lincah dan tak henti berinovasi. Usup sang local heroes, tak pernah bermimpi perjuangannya bisa menyejahterakan petani tambak di Kawasan Pantura, Jawa Barat.

Berawal dari kerjasama dengan Mister Wang, seorang warga Taiwan, Usup Supriatna memperoleh keahlian menanam  rumput laut.  Malang tak dapat ditolak, tanpa diketahui alasannya, tiba-tiba Mister Wang pulang ke Taiwan. Tidak meneruskan proyek. Meninggalkan Usup Supriatna dan rumput laut siap panen, tanpa solusi pemasaran.

Perlu waktu lebih dari sepuluh tahun sebelum Usup bertemu dengan PT Agarindo, produsen bahan baku agar-agar yang mendominasi pasar Indonesia. Bak botol bertemu tutupnya, PT Agarindo membutuhkan pasokan gracillaria dalam jumlah besar, jenis rumput laut  yang dibudidayakan Usup.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Usup merangkul teman-temannya sesama petani tambak agar menanam rumput laut. Usup juga mengalokasikan penghasilan yang diterima untuk menyewa lahan terlantar guna ditanami rumput laut.

Seiring waktu, Usup membuat beberapa gebrakan, yaitu:
  • Menyatukan petani tambak dalam koperasi. Dengan cara ini petani terjamin penjualan panennya, sekaligus mengeliminasi persaingan harga yang berpotensi saling menjatuhkan.
  • Mengembangkan sistem polikultur, yaitu menanam 3 jenis benih dalam satu lahan garapan: rumput laut, bandeng, udang. Sistem ini berhasil meningkatkan penghasilan petani tambak.
  • Membangun pabrik pakan ikan (pelet) dengan bantuan Pertamina  EP Tambun. Pelet hasil inovasi Usup berbahan rumput laut yang tidak lolos sensor dan biasanya dibuang begitu saja. Dengan adanya pelet ikan buatan sendiri, Usup berhasil menekan biaya produksi.
  • Efisiensi pemeliharaan rumput laut yang berdampak pada kenaikan hasil panen. Jika pada tahun 2015, hanya bisa menghasilkan 95 ton. Tahun 2017 mencapai 604,2 ton. Dan 834,5 ton pada tahun 2018.
 "Asalkan mau kerja, penduduk Pantura nggak usah ke Jakarta mencari nafkah. Cukup disini saja,” ujar Usup Supriatna, sang pahlawan rumput dari Desa Sedari, Pantura Jawa Barat.

Siapapun Bisa Menjadi Sociopreneur

Ingin menjadi sociopreneur?

Sebelum pandemi Covid 19, Indonesia mempunyai segudang masalah sosial/lingkungan yang multi kompleks. Terlebih sekarang, saat angka pengangguran meningkat.
Menurut Organisasi Perburuhan Dunia (International Labour Organization/ILO) satu dari enam kaum muda berhenti bekerja akibat pandemi Covid-19, sedangkan bagi mereka yang masih bekerja mereka mengalami pemotongan jam kerja sebesar 23 persen. (sumber)

Seperti diketahui dampak pengangguran sangat besar, mulai dari depresi/penyakit mental hingga tindakan kriminal.
Mengapa tidak mulai menjadi sociopreneur? Menjadi sosok yang menyelesaikan masalah sekaligus memperoleh penghasilan?

Bisa dimulai dengan mencari solusi masalah di sekitar rumah tinggal. Salah satu masalah yang patut dipertimbangkan untuk diatasi adalah sampah. Problem kronis yang yang melanda kawasan perkotaan dan pedesaan.

Sebetulnya masalah sampah timbul akibat kesalahan paradigma berpikir dan berperilaku.  Bank sampah bisa menjadi salah satu solusi, karena bank sampah dapat mengatasi:
  • Problem lingkungan. Bank sampah merupakan tools memisah sampah, jika sampah telah terpilah maka sebagian masalah lingkungan telah terpecahkan. Sampah organik terurai di alam, sampah anorganik didaur ulang menjadi produk baru.
  • Problem sosial. Bank sampah sejatinya melakukan aktivitas menghimpun dana masyarakat. Bedanya, uang yang dikumpulkan berasal dari sampah. Saat dikonversi menjadi uang dan terkumpul, uang tersebut bisa digunakan untuk simpan pinjam, menyalurkan pada UMKM yang mayoritas tidak “bankable”. Sehingga mereka terlepas dari rentenir dan bisa meningkatkan penghasilan keluarga.
Darimana bank sampah mendapat penghasilan?

Banyak aktivitas bisnis yang bisa dilakukan sociopreneur bank sampah, diantaranya:
  • Membangun UMKM daur ulang sampah. Sampah yang diperoleh dari rumah tangga umumnya dalam keadaan tercampur. Mereka kesulitan memilah. Padahal jika sampah dipilah, harganya akan naik 2 kali lipat. Contohnya kemasan air mineral yang dibeli dengan harga Rp 3.000/kilogram. Jika telah dipilah maka harga jual akan meningkat menjadi Rp 6.000/kilogram.
  • Membangun pabrik biji plastik (pelet). Caranya cukup mudah, teknologinyapun tidak rumit. Plastik diikumpulkan dan dipisah sesuai jenisnya, kemudian diproses menjadi biji plastik yang sangat dibutuhkan produsen prroduk plastik.
  • Membangun UMKM handycraft dari limbah kemasan plastik. Handy craft ini bisa diekspor jika didesain sesuai keinginan pasar.
  • Penjualan sembako. Sulitnya transportasi membuat  penduduk pedesaan harus membeli sembako dengan harga mahal. Usaha penjualan sembako sangat membantu mereka sekaligus memikat penduduk yang belum menjadi anggota Bank Sampah. Karena iming-iming  diskon tertentu untuk anggota bank sampah misalnya.
Hasil penghasilan UMKM bank sampah bisa digunakan untuk upah/gaji sociopreneur dan pengurus bank sampah. Semakin banyak inovasi yang dilakukan, penghasilan yang diterima akan semakin besar.

Prospek bank sampah sebetulnya sangat besar. Andai sebuah keluarga memilah dan menyetor sampah anorganik senilai Rp 1.000/minggu, maka suatu  RW  akan menghasilkan Rp 52,000.000/tahun.
Dengan perumpamaan sederhana, RW tersebut membawahi 10 RT dan setiap RT dihuni 100 kepala keluarga (KK), maka: 10x 100 KK x Rp 1.000 x 52 minggu = Rp 52.000.000

Tentu saja jumlah RT dan KK setiap RW berbeda di setiap kelurahan di Indonesia. Ada yang jumlahnya lebih banyak, ada pula yang di bawah. Demikian pula jumlah sampah anorganik yang bisa disetor. Semakin banyak jumlah anggota dalam KK, maka jumlah sampah anorganik akan semakin banyak pula.

Yang tidak bisa disangkal adalah omzet penjualan sampah anorganik suatu daerah, jika dimaksimalkan bisa mencapai milyaran rupiah (sumber)

Bagaimana? Mulai tertarik menjadi sociopreneur?

Bisa dimulai dengan mempelajari lebih dalam mengenai sociopreneur disini.  Kemudian  melakukan riset kecil-kecilan di sekitar rumah untuk mengetahui problem sosial/lingkungan yang terjadi, serta potensinya.

Pelajari juga sepak terjang para sociopreneur/socio enterprise di Indonesia yang telah sukses, seperti Telapak.org, Waste4Change,  Zaini dengan Komunitas Hong, serta masih banyak lainnya.

Sangat menyenangkan menjadi sociopreneur, karena penghasilan yang didapat tidak hanya cuan, tetapi juga kepuasan batin. Namun seperti aktivitas lainnya, kendala terjadi saat memulainya.

"Jangan pernah mengukur tingginya sebuah gunung sampai kau mendakinya sampai puncak. Nanti kamu akan melihat betapa rendah ketinggiannya” (Dag Hammarskjold)