Pelajaran Berharga dari Trading Saham di Tengah Pandemi

Trading saham di masa pandemi memiliki tantangan khusus (Sumber: Shutterstock)

Trading saham di masa pandemi memiliki tantangan khusus (Sumber: Shutterstock)

Like

Bila dihitung, saya sudah mulai mengenal investasi saham sejak delapan tahun lalu. Namun, saya baru aktif memulainya dari empat tahun lalu.

Awalnya, saya mencobanya melalui investasi reksa dana. Setahun kemudian, saya mencoba investasi saham langsung melalui sekuritas.

Posisi saya saat itu adalah investor. Artinya, saya hanya akan melakukan top-up saham bila ada kelebihan dana saja. Setelah membeli suatu saham, saya akan membiarkannya.

Semakin paham, saya menyadari bahwa langkah saya ini tidak tepat. Tidak ada investasi jenis apapun yang bisa memberikan hasil maksimal tanpa evaluasi.

Awalnya, mengetahui apa dan bagaimana investasi saham adalah bagian dari pekerjaan. Pada akhirnya, saya tertarik mempelajarinya sebagai keterampilan pribadi.


Dunia investasi saham ternyata menarik, sehingga saya mendalaminya. Sekuritas juga membantu. Mereka menggelar pelatihan rutin setiap dua minggu sekali. Di samping itu, saya juga membeli buku dan juga mengikuti pelatihan daring. 

Berhasil?

Tentu saja tidak selalu. Seringkali, gain yang didapat dari investasi saham membuat saya tersenyum puas. Namun, kerap kali tidak. 

Di atas semua itu, saya mempercayai proses tidak mengkhianati hasil. Agar menjadi ahli, kata Malcolm Gladwell, seseorang harus berlatih setidaknya 10 ribu jam.

Jam terbang saya tentu masih jauh dari cukup. Sebagai seorang pemula, kesalahan saya sering kali terkait dengan timing. Salah waktu membeli dan menjual, sehingga membuat portofolio kebakaran.  

Kata Warren Buffet, tidak ada seorang pihak pun yang selalu bisa menang melawan pasar. Tidak ada yang selalu bisa menebak dengan tepat kemana arah pasar. Saya rasa pesan itu tepat sekali.

Sejak awal tahun misalnya, beberapa ekonom dan analis sudah memperingatkan. Pasar keuangan di 2020 akan bergejolak. Khususnya, di negara emerging market seperti Indonesia. Perang dagang Amerika Serikat-Tiongkok, panasnya geopolitik di Timur Tengah, dan langkah normalisasi bunga The Fed menjadi beberapa penyebab.

Nyatanya, semua sentimen tersebut belum ada apa-apanya. Krisis kesehatan akibat virus COVID-19 dari Tiongkok lebih memporak-porandakan pasar keuangan. Penghentian perdagangan sementara bila pasar turun sampai lima persen (trading halt) dilakukan sampai lima kali.

Bursa Efek Indonesia (BEI) juga melakukan auto reject bawah (ARB) jika ada penurunan sampai 7 persen dan jam perdagangan yang lebih pendek. Semua stimulus bursa tersebut seolah tidak berpengaruh. Bursa sempat terus meluncur seperti tanpa rem.

Apa kabar portofolio saham saya?

Tentu saja ikut terjun bebas. Nilai kerugiannya (unrealized loss) sampai 40 persen . Selama beberapa hari, saya bahkan sempat tidak berani melirik aplikasi trading. Hehe

Saya sempat melakukan pembelian ulang untuk memperbaiki harga (average buy). Namun tetap saja, harga saya masih ketinggian.

Takut? Panik? 

Pasti. Penurunan IHSG seperti tidak memiliki dasar. Investor asing terus melakukan penjualan bersih. Termasuk pada saham lapis utama (blue chips). Perlawanan investor ritel domestik seolah tidak ada artinya.  

Namun, saya sudah memutuskan. Saya tidak melakukan penjualan pada satupun saham yang ada dalam portofolio. Saya tidak kapok untuk terus berinvestasi saham.

Saya memperoleh pelajaran berharga dengan menjadi investor di pasar saham. Terutama, mengelola portofolio dan kendali diri di saat pasar crash seperti tahun ini.

Pertama, saya menjadi terus terpacu untuk belajar hal baru. Dalam investasi saham, keterampilan membaca grafik dan laporan keuangan adalah hal penting. Selama lebih dari setahun terakhir, saya juga berlatih membaca berbagai pengetahuan baru tentang metode candlestick, moving average, dan lainnya. 

Keterampilan ini menjaga dan mengarahkan kita untuk tidak sekedar asal beli dan jual dalam investasi saham. Saham bukanlah lotre yang dapat bergerak asal kian-kemari tanpa ilmu dan perhitungan.

Manfaat kedua adalah melatih kedisiplinan dan membatasi diri. Investor, apalagi trader, harus disiplin dalam mengatur portofolionya. Kapan harus bisa melakukan beli-jual dan serta cut-loss, kapan pula harus merasa puas dengan keuntungan yang didapat.

Juga dalam mengatur portofolio, termasuk posisi cash. Musuhnya adalah diri sendiri karena merasa terlalu yakin.

Investasi saham juga mengajak kita untuk tidak serakah. Di samping itu, saham juga mengajarkan saya untuk puas dengan berapapun gain yang didapat.

Bila harga beli yang saya dapat terlalu mahal atau harga jualnya terlalu murah, misalnya, saya belajar untuk tidak terlalu menyesalinya. Belajar lagi meningkatkan skill membaca arah pasar.

Belajar menjadi investor saham, bagi saya adalah seperti proses mengenal diri sendiri. Bukankah seorang pemenang adalah dia yang mengenal bagaimana kemampuan dan kelemahan dirinya sendiri? Mengetahui kapan harus terus berjuang dan bertahan.

Kamu sepakat?