Belajar Parenting dari Buku Anakku, Sahabat dan Guruku

Anakku, Sahabat, dan Guruku (sumber gambar: Canva)

Anakku, Sahabat, dan Guruku (sumber gambar: Canva)

Like

Saat mengenang masa lalu, apa yang biasanya kamu pikirkan? Mungkin masa kecil kamu ya? Kamu teringat masa kecil yang penuh kebahagiaan. Mungkin waktu itu, masalah yang terbesar cuma PR dan pelajaran Matematika. Ya apa ya?

Waktu kecil, kamu mungkin bercita-cita menjadi orang dewasa. Bagi kamu, menjadi orang dewasa itu kok keren ya? Pakai seragam kerja. Punya uang sendiri, bisa pakai mobil sendiri juga. Bebas mau beli apa saja, karena punya uang. 

Namun, ketika sudah dewasa begini, kok sepertinya masalah datang bertubi-tubi ya? Bayanganmu di waktu kecil rupanya tidak semuanya benar. Menjadi dewasa justru menuntut tanggung jawab yang lebih banyak.

Apalagi saat ini kamu sudah berkeluarga. Punya istri tiga misalnya. Maksudnya, punya istri tiga anaknya. Masih mau tambah?

Mungkin masa kecil yang diingat adalah masa bermainnya. Ketika sore, bermain sepakbola di lapangan dekat rumah. Batas mainnya cuma adzan Maghrib atau ketika ibu sudah datang.


Bagi generasi 80-90an, bermain waktu itu memang terasa benar-benar menyenangkan. Betul-betul melibatkan fisik. Tidak seperti sekarang, bermain lebih banyak pakai alat gadget atau gawai, itulah alat ajaib sekarang. Kamu sendiri sekarang sedang memegangnya bukan?

Kalau saya sendiri, ketika malam hari sekitar pukul 00.14 WITA waktu saya awal menulis ini, saya teringat masa lalu, justru dengan buku bapak saya. Ya, Alhamdulillah, bapak saya punya hobi membaca buku. Aneka koleksi bukunya ikut mewarnai masa kecil saya.

Baca Juga: Ramai Soal Childfree dan Childphobia, Ini Gejala dan Perbedaannya

Dan, kebiasaan membacanya itulah yang Alhamdulillah menular juga ke saya. Sampai sekarang koleksi buku saya sudah mencapai ratusan, tidak tahu jumlah persisnya.

Buku yang saya ingat justru seputar parenting. Ketika itu, saya masih SD, kalau tidak salah kelas 3 atau 4 begitu membaca buku parenting.

Waow, ini mungkin tidak seperti pada umumnya, kalau anak SD lebih suka baca komik karena bergambar dan lebih menarik. Sementara buku parenting sangat sedikit gambarnya, lebih banyak tulisannya. 

Apa sih buku yang saya ingat itu? Dari judulnya saja sudah menggelitik saya saat itu. Buah karya Kak Seto, judulnya "Anakku, Sahabat dan Guruku". Ditambahi judul kecil "Catatan Kecil Keluarga Muda". 
 

Nikmat Memiliki Anak


Ada beberapa teman yang saya kenal, empat pasang, sampai sekarang mereka belum diberikan keturunan. Usia pernikahan mereka sudah lebih dari 10 tahun, tiga pasang, sementara satu pasang menikah di tahun yang sama dengan saya.

Tentu saja, saya kurang tahu apa penyebab utamanya? Apakah faktor dari si suami ataukah istri? Jika dikatakan mandul, yang mana? Hal itu jelas membutuhkan pemeriksaan dokter yang mendalam. 

Dalam batin mereka, tentu saja mendambakan adanya anak. Sebab, menikah itu tujuannya memang mendapatkan anak secara legal dan halal bukan?

Ada beberapa pasangan yang saya kenal tersebut "memelihara" anak lain demi memancing agar kelak bisa punya anak sendiri. Itu juga sekaligus belajar untuk mendidik anak. 

Mempunyai anak memang pada dasarnya suatu nikmat dari Allah. Kadang saya berpikir, yang sudah menikah bertahun-tahun lamanya, belum diberikan anak, sementara yang pacaran, baru beberapa saat, kecelakaan, malah hamil di luar nikah!

Yang sudah menikah, berusaha kiri kanan, menempuh segala cara agar bisa hamil, eh, yang pacaran itu tanpa terlalu banyak tahu, justru malah betul-betul hamil, walaupun banyak pula yang berakhir dengan aborsi sih. Tepuk jidat sekaligus geleng-geleng kepala kalau begini sambil istiqfar. 

Baca Juga: Ramai Soal Childfree, Apa Dampaknya Bagi Keuangan?

Dikaitkan dengan buku Kak Seto tersebut, anak kok bisa dikatakan sebagai sahabat? Malah, kok bisa dikatakan sebagai guru?

Bukankah di persepsi kita, biasanya guru itu lebih tua, senior, dan punya pengalaman lebih banyak. Namun, ini kok anak kita yang notabene usianya belasan tahun di bawah kita, kok bisa dijadikan guru? Aneh nggak sih?

Saya mencoba mengingat-ingat isi buku tersebut, meskipun sekarang saya tidak tinggal lagi bersama orang tua, merantau jauh sekali dari sana. Sebagai sahabat, anak memang dekat sekali dengan orang tuanya. Kira-kira, kalau kamu punya sahabat, apa yang kamu bagikan kepada mereka? Jelas hal-hal yang bersifat pribadi bukan? Hal-hal yang tidak diungkapkan ke banyak orang lainnya. 

Menjadikan anak sebagai sahabat justru akan bermanfaat bagi orang tua itu sendiri. Orang tua dapat menceritakan kesehariannya atau tentang pekerjaannya kepada anak.

Jadi, anak merasa mendapatkan tempat yang istimewa. Meskipun dia sendiri belum terlalu paham, tetapi kedekatan dengan sering berbicara kepada orang tuanya itu akan menjadi kenangan yang indah tatkala dia sudah dewasa. 

Jika orang tua mau menceritakan tentang pekerjaan, impian, atau kenangan masa kecilnya kepada anak-anaknya, maka anak-anak pun tidak segan untuk bercerita balik.

Selama ini, pola komunikasi bisa seakan-akan terputus antara orang tua dan anak. Dan, komunikasi yang harusnya saling menyambung itu justru menuju muara yang sama, yaitu: handphone. Akan tetapi, dengan jalur yang berbeda dan orang yang berbeda. 

Orang tua lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman kerjanya. Menghabiskan canda dan tawanya di kafe sambil ngopi misalnya. Sementara anak-anaknya di rumah merasa kesepian, tidak diajak bermain, tidak diajak bicara oleh orang tuanya.

Akhirnya, dia capek sendiri, lelah menunggu orang tuanya pulang. Dia pun tidur dengan perasaan galau. Besoknya begitu lagi, dan seterusnya. Tanpa terasa, anak pun mulai beranjak dewasa. Frekuensi komunikasi jadi makin berkurang karena tidak dibangun sejak kecil. 

Seorang konten kreator di TikTok yang fokus menembak niche parenting, memberikan kiat, luangkanlah waktu sekitar 10 menit saja untuk benar-benar larut dengan anak. Tinggalkan HP terlebih dahulu. Lupakanlah berbagai masalah lain di luar sana.

Jadikanlah anak-anak betul-betul menjadi sahabat orang tua. Saling mengobrol, saling bercanda, bermain dan belajar bersama. Jika hal itu tidak dilakukan, maka anak akan mencari pelampiasan yang lain. Bisa jadi, malah pelampiasan yang negatif. 
 

Belajar Melupakan


Anak sebagai guru memang selalu terkait dengan perasaan yang lembut, baik hati, dan mulia dari diri anak. Apakah itu? Sifat ini adalah mudah melupakan kesalahan orang lain.

Baca Juga: Ramai Diperbincangkan, Ini Sejumlah Tokoh Publik yang Memilih untuk Childfree

Kamu yang saat ini sudah jadi orang tua, pasti pernah dong memarahi anak, ya enggak? Mungkin di antara kamu memarahi sampai membentak, memasang wajah yang sangar, hingga memberikan hukuman fisik, minimal mencubit perut atau menjewer telinganya.

Secara otomatis, anak tersebut akan menangis kencang. Namun, justru orang tuanya tambah mencubit, sambil berseru, "Bisa diam nggak?!" Ini saya rasakan aneh, menyuruh anak diam dari menangis, tetapi masih menyakiti badannya yang membuat anak malah ingin tambah menangis. 

Besoknya, kamu lihat sendiri. Jika pernah memarahi anak dengan cukup keras dan muncul penyesalan dalam diri kamu, kenapa kok sampai begitu? Besoknya, iya, besoknya, dia datang lagi, dengan senyum, tawa, dan pelukan hangatnya. Ini yang membuat saya jadi terharu.

Secepat itukah mereka melupakan amarah orang tuanya? Semudah itukah mereka membuang jauh-jauh emosi dari orang tuanya? Mereka kembali kepada kita dengan cinta yang bulat seperti biasanya. Seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. 

Dari situlah, kita harusnya belajar dari anak-anak. Mereka mudah sekali melupakan kesalahan orang lain. Dengan teman sebaya, mereka pernah berkelahi, berseteru, besoknya sudah baikan lagi. Main lagi seperti biasa. Betapa indahnya jika kita bisa seperti itu, mudah memaafkan kesalahan orang lain. 

Hanya, yang jadi masalah, kita justru sering mengingat kesalahan orang lain. Teringat terus hingga masuk ke pikiran bawah sadar. Akhirnya, berbuah dendam dan harus terbalaskan. Pokoknya, bagaimanapun caranya, dendam tersebut harus bisa dikeluarkan.

Hal inilah yang menghiasi media-media kita. Kasus pembunuhan, kekerasan, perkelahian antarkelompok dipicu oleh rasa emosi dan dendam yang terus tersulut. Kesalahan orang lain sama sekali tidak bisa dimaafkan dan dilupakan. Harus diberikan balasan yang setimpal, kalau perlu lebih besar lagi. 

Cobalah kita belajar dari anak-anak. Mereka yang belum pernah menjadi dewasa, tetapi mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang sangat mulia. Mereka juga mengajarkan arti persahabatan, meskipun pernah berkonflik, tetapi cepat sekali diperbaiki kembali. Masa kita yang orang dewasa tidak bisa seperti itu?

Dari buku "Anakku, Sahabat dan Guruku", Kak Seto mengajarkan nilai yang sangat indah, bahkan dimulai dari judul bukunya itu sendiri. Membuat kita jadi berpikir, sudahkah kita menjadi orang tua yang baik?

Sudahkah menjadikan anak-anak kita sebagai sahabat, dan yang lebih penting lagi adalah, menjadikannya guru? Kalau belum, masih ada waktu. Ayo, sama-sama! 

Punya opini atau tulisan untuk dibagikan juga? Segera tulis opini dan pengalaman terkait investasi, wirausaha, keuangan, lifestyle, atau apapun yang mau kamu bagikan. Submit tulisan dengan klik "Mulai Menulis".
 
Submit artikelnya, kumpulkan poinnya, dan dapatkan hadiahnya!
 
Gabung juga yuk di komunitas Telegram kami! Klik di sini untuk bergabung.