Mungkinkah New Normal Menjadi Momentum Kebijakan Baru Pajak Hotel dan Restoran?

Hotel (Sumber gambar: www.agoda.com)

Hotel (Sumber gambar: www.agoda.com)

Like

Di masa pandemi virus corona atau Covid-19 ini, perlu dilakukan evaluasi dan pengaturan keuangan di berbagai sektor. Mulai dari pengelolaan keuangan pribadi, pengelolaan keuangan di setiap sektor mikro atau bisnis, dan pengelolaan keuangan sektor makro yang antara lain melalui kebijakan moneter, dan kebijakan fiskal.

Penetapan kebijakan secara makro, misalnya. Kebijakan moneter dan kebijakan fiskal pada akhirnya akan berdampak terhadap perkembangan di sektor mikro atau bisnis itu sendiri.

Pandemi virus corona yang terjadi dalam beberapa bulan belakangan ini tampaknya berdampak luas terhadap berbagai sektor, termasuk sektor industri hotel dan restoran. Melansir dari Bisnis.com tanggal 15 Juli 2020 dengan judul “Staycation, Alternatif Liburan Aman di Tengah Pandemi” yang ditulis oleh Dewi Andriani, menyatakan bahwa selama pandemi Covid-19 hotel dan industri pariwisata menjadi salah satu sektor yang paling terdampak sehingga butuh kolaborasi dari berbagai pihak untuk membangkitkan kembali industri ini.

Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani, menyatakan bahwa sejak Januari hingga April 2020, hotel dan restoran Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp70 triliun, yang terdiri dari Rp30 triliun kerugian untuk hotel dan Rp40 triliun kerugian untuk restoran (Kontan, 14 Juli 2020).

Menurutnya, ada lebih dari 2.000 hotel dan 8.000 restoran yang menghentikan operasionalnya. Begitu pula dengan yang terjadi di Bali, yang salah satu sektor utamanya adalah pariwisata dan hotel.


Ketua PHRI Kabupaten Badung, IGA Rai Suryawijaya, mengatakan bahwa perekonomian Bali saat ini merupakan kondisi terburuk sepanjang sejarah yang ada karena tingkat hunian hotelnya mencapai zero (nol) (Bisnis.com, 10 April 2020).

Ketua PHRI Kabupaten Badung pun mengatakan bahwa dampak Covid-19 lebih parah dibandingkan bom bali dan erupsi Gunung Agung. Menurutnya, peristiwa Bom Bali I dan Bom Bali II menyebabkan tingkat hunian hotel berada di angka 20 persen.

Sementara itu, peristiwa erupsi Gunung Agung menyebabkan beberapa daerah seperti Badung, Denpasar, dan Gianyar masih mencapai angka 60 persen, sebab masih jauh dari radius yang berbahaya, yaitu 12 kilometer. Menurutnya, saat ini hampir 96 persen hotel di Bali sudah tutup karena tidak ada kunjungan wisatawan lagi dan akan terus meningkat hingga 100 persen.

Di tengah lesunya industri hotel dan restoran yang disebabkan pandemi Covid-19 ini, terbit rencana pemerintah untuk menghapus pajak hotel dan restoran selama 6 (enam) bulan dan pemerintah menyiapkan dana Rp3,3 triliun untuk menggantikan pendapatan pemerintah daerah dari penghapusan pajak tersebut (Liputan6.com, 6 Maret 2020).

Adapun, pembebasan pajak tersebut dilakukan untuk membantu hotel dan restoran yang mengalami kerugian di tengah penyebaran virus corona. Hal ini tentu saja merupakan angin segar terhadap pelaku industri hotel dan restoran di masa Covid-19 ini.

Meskipun demikian, persoalan tidak hanya berhenti sampai pada saat ini saja. Namun, yang menjadi persoalan selanjutnya adalah bagaimana memulihkan industri hotel dan restoran dari keterpurukan di masa tatanan baru masyarakat untuk beradaptasi dengan Covid-19 ini atau yang dikenal dengan new normal.

Meskipun sudah memasuki masa new normal, namun tampaknya industri hotel dan restoran masih belum sepenuhnya pulih, bahkan masih kesulitan untuk pulih. Wakil Ketua Umum PHRI, Maulana Yusran, mengatakan bahwa kini okupansi hotel dan restoran hanya berkisar 20 persen, namun masih banyak yang berada di bawah 10 persen (idntimes.com, 1 Juli 2020).

Menurutnya, beberapa hal yang menjadi penyebabnya antara lain masih adanya rasa takut di masyarakat untuk berpergian dan masih terbatasnya pergerakan wisatawan yaitu sebagian besar adalah wisatawan lokal dan yang berasal dari kota-kota terdekat.

Jika membahas mengenai pemulihan sektor pariwisata, Direktur Regional Asia Selatan Booking.com Vikas Bhola menyatakan bahwa pemulihan pariwisata dari pandemi virus corona akan berbeda-beda di setiap negara dan sulit diprediksi, karena tiap negara memiliki level penyebaran pandemi yang berbeda (detikTravel, 14 Juli 2020).

Mungkin, perbedaan level penyebaran pandemi bukan hanya pada level negara saja. Namun, masing-masing daerah di dalam suatu negara juga memiliki level penyebaran virus corona yang berbeda-beda.

Dengan demikian, masa pemulihan pariwisata dari pandemi virus corona di masing-masing daerah pun akan berbeda-beda pula. Hal ini sesuai juga dengan Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta Cucu Ahmad Kurnia, yang mengatakan bahwa masa pemulihan atau recovery pariwisata di setiap daerah berbeda.

Menurutnya, hal ini disebabkan oleh kondisi ekonomi masyarakat yang berbeda-beda (Kompas.com, 20 Mei 2020). Contohnya adalah data statistik rentang tingkat penghunian kamar hotel berbintang di beberapa Kota/Kabupaten yang berada di Provinsi Bali tahun 2016, 2017, dan 2018 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Bali.

Dari tabel tersebut, dapat dilihat bahwa Kabupaten Badung memiliki tingkat penghunian kamar hotel bintang yang tertinggi dalam rentang tahun 2016 sampai dengan 2018 dibandingkan dengan beberapa Kota/Kabupaten lainnya yang berada di Provinsi Bali.

 

Rentang Tingkat Penghunian Kamar Hotel Bintang di Beberapa Kota/Kabupaten di Bali

Rentang Tingkat Penghunian Kamar Hotel Bintang di Beberapa Kota/Kabupaten di Bali


Dengan demikian, ada kemungkinan masing-masing daerah memiliki strategi dan kebijakan yang berbeda untuk mengembangkan industri hotel dan restoran, termasuk kebijakan perpajakan karena tiap daerah memiliki kondisi perekonomian yang berbeda-beda. Hal ini pula yang dapat berdampak terhadap kemampuan dalam membayar pajak.

Dalam hal pemungutan pajak, salah satu syaratnya adalah harus adil (Mardiasmo, 2006:2). Adil dalam perundang-undangan di antaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing (Mardiasmo, 2006:2).

Mengenai pajak hotel dan restoran, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 35 ayat (1) menyatakan bahwa tarif pajak hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10% sedangkan Pasal 40 ayat (1) menyatakan bahwa tarif pajak restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10 persen.

Pada kenyataannya, masih ada saja yang kurang sepakat mengenai besarnya tarif pajak hotel dan restoran. Salah satunya adalah Ketua PHRI Balikpapan Yulidar Gani, yang menyatakan bahwa tarif pajak restoran di Kota Balikpapan sebesar 10 persen adalah terlalu tinggi (DDTCNews, 30 Juni 2016).

Begitu pula Wakil Ketua Umum PHRI, Sutrisno Iwantono, meminta supaya pajak hotel dan restoran dikurangi (Antaranews.com, tanggal 12 Maret 2020). Menurutnya, pahak hotel dan restoran paling tidak diturunkan menjadi 5 persen.

Sebenarnya tidak menutup kemungkinan, apabila tarif pajak hotel dan restoran di bawah 10 persen. Namun, tidak boleh melebihi 10 persen karena kalimat yang tertulis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tersebut adalah paling tinggi 10 persen.

Dengan demikian, dalam masa new normal ini, ketika industri hotel dan restoran memasuki masa pemulihan, sebenarnya dapat dijadikan sebagai momentum dilakukannya evaluasi yang menyeluruh terhadap berbagai kebijakan yang berkaitan dengan industri hotel dan restoran, –termasuk kebijakan pajak hotel dan restoran.

Bisa saja, pemerintah bekerja sama dengan pelaku atau praktisi hotel dan restoran di setiap Kabupaten/Kota dalam penentuan kebijakan dan tarif pajak hotel dan restoran supaya tercapai kebijakan dan tarif pajak hotel dan restoran yang proporsional. Para praktisi yang tergabung dalam PHRI akan sangat memahami segala hambatan dan perkembangan dalam industri hotel dan restoran.

Dengan demikian, PHRI di masing-masing Kota/Kabupaten dapat dijadikan sebagai rekan pemerintah dalam penentuan kebijakan dan tarif pajak hotel dan restoran untuk meningkatkan keadilan dalam pemungutan pajak. Mungkinkah ini dapat diwujudkan? Ya sangat memungkinkan, apabila telah ada peraturan yang mengaturnya.

#youngcompetitionbisnismudaid
#bisnismuda
#bangkitdaripandemi
#mengaturkeuangandimasapandemi