Muda Merdeka Finansial, Siapa Takut?

Kopi, pandemi dan e-commerce (google picture)

Like

Menilik dari kebiasaan masyarakat, kopi dan e-commerce merupakan dua hal yang tidak terpisahkan dari gaya hidup (lifestyle) generasi muda di masa kini. Era teknologi digital membuat perubahan pesat dimana mulai menggeser kebutuhan manusia. Pola hidup manusia yang semula berfokus pada hal-hal primer perlahan beralih pada pola hidup sekunder dan tersier.  

Makanan dan minuman semula dijadikan kebutuhan utama untuk menambah gizi, menaikkan energi dan menyehatkan tubuh, kini beralih menjadi makanan atau minuman yang dikonsumsi karena memberikan suatu “label” tertentu. Pakaian yang semula untuk melindungi tubuh dan menunjang penampilan kini turut bergeser menjadi sesuatu yang menunjukkan kepopuleran, status dan kedudukan seseorang. Kontribusi mereka yang disebut “influencer” media sosial turut memainkan peran pergerakan pesat budaya konsumtif masyarakat.
 
Espresso, kopi gula aren, caramel machiato, dan frapucino, empat jenis kopi dari sekian banyak kopi yang sering generasi muda pesan saat menemani aktivitas. Ya, dalam tiga tahun terakhir, tren industri kopi kian melejit di kalangan masyarakat. Tren tersebut memunculkan kebiasaan untuk mengonsumsi kopi di pagi, siang maupun malam hari.

Tidak dapat dipungkiri sebagian waktu manusia juga digunakan untuk melakukan aktivitas di coffee shop. Berbincang bersama teman, melakukan rapat kelompok, mengerjakan tugas akhir bahkan sekedar meluangkan waktu menikmati suasana, atau bahkan membawa pulang kopi untuk menemani bekerja di rumah seperti saat ini. Memang tidak ada salahnya hal tersebut dilakukan, namun apabila kita tidak bijak dalam mengalokasikan pendapatan kita, lalu apa yang terjadi di kemudian hari?
 
“Permisi , ada paket!. Itulah kondisi yang terjadi pada salah satu rumah di perumahan x, lima hingga sepuluh paket dapat diterima setiap harinya. Barang yang dikonsumsi tidak lain tidak bukan merupakan barang “remeh temeh” tergiur ajakan semata. Serupa namun tak sama, e-commerce juga berlaku demikian. Media digital membawa pengaruh besar bagi generasi muda untuk “tertarik” pada produk-produk yang sebetulnya bukan menjadi kebutuhan utama kita.

Kata FOMO (Fear  Of Missing Out) tepat untuk menggambarkan situasi ini. Generasi muda cenderung menginginkan apa yang dimiliki orang lain, mereka tidak ingin ketinggalan tren akan produk-produk tertentu, sehingga mereka memanfaatkan promo, mengikuti pola konsumsi yang berlebih, dan memiliki intensitas tinggi untuk mengakses e-commerce pada gawai mereka.

Sistem cashback, potongan harga, dan paylater rupanya perlu diwaspadai, tanpa kita sadari kita melakukan pengeluaran hanya karena godaan tawaran semata.Pembelian produk konsumtif juga terkait dengan pola pemakaian kartu kredit yang merebak dan menjadi tren anak muda, tahukah kalian pola tersebut menjadi sesuatu yang mencekik dan tidak menyehatkan keuangan kita, lalu apa yang dapat dilakukan generasi muda untuk berdamai dengan finansial?
 
Salah satu teman kopi, yaitu minuman manis seperti boba dan sirup juga memasuki kehidupan generasi muda. Tidak asing di telinga kita, istilah self reward  yang menggunakan konsumsi minuman manis menjadi sarananya. Kalau ditelisik lebih mendalam satu gelas minuman manis seharga (kurang lebih) Rp 15.000 dapat dikonsumsi 2 (dua) kali dalam sehari, bayangkan jika hal ini terjadi dalam satu bulan, Rp 900.000 uang yang dikeluarkan untuk membeli minuman tersebut terbuang untuk mengikuti gaya hidup konsumtif.

Belum ditambah dampak yang akan ditimbulkan bagi tubuh di kemudian hari.  Pola konsumsi minuman manis berlebih yang tidak diimbangi berolahraga akan mengakibatkan diabetes melitus, dimana Indonesia menempati peringkat ke 7 dari 10 negara dengan jumlah penderita terbanyak 10,7 juta. Lantas apa dampaknya bagi finansial?


Tentunya biaya kesehatan jangka pankang menjadi pertimbangan penting di dalamnya, lalu langkah optimal apa yang dilakukan agar kita mampu mengendalikan diri dari situasi tersebut untuk finansial yang lebih baik?
 
Pandemi yang hadir di tahun 2020, turut berkontribusi mempengaruhi perekonomian negara Indonesia. Menelusur lebih dalam, kalangan generasi muda yang berada pada usia produktif mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan, hal ini mempengaruhi kehidupan mereka, dimana mereka seharusnya sudah memiliki pendapatan pribadi namun karena kondisi yang tidak menentu, PHK dan pengurangan karyawan terjadi.

Sedangkan disisi lain, bagi mereka yang masih bermobilitas membutuhkan banyak pengeluaran di masa pandemi ini. Sempat ramai menjadi perbincangan di berbagai media sosial, pendapatan kaum pekerja muda yang belum seberapa ini diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan masker, test covid dan beberapa peralatan kesehatan lainnya.

Tentu tidak mudah bagi mereka, memasuki persiapan kerja yang tidak diimbangi dengan literasi finansial menjadikan pendapatan layak “hilang sekejab”. Oleh karena itu, bagaimana alokasi pendapatan yang baik dan sesuai dengan kebutuhan generasi muda?
 
Beberapa solusi dapat dilakukan, agar hadirnya kopi,e-commerce, dan pandemi tidak mempengaruhi gaya hidup generasi muda yang berdampak pada kesehatan finansial kita:
 
1. Pemahaman akan apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan pribadi. 
Sebagai generasi muda kita memerlukan sikap bijaksana dalam mengelola finansial. Bagaimana sikap bijaksana tersebut diterapkan?
 
Pertama, kita dapat membiasakan diri membuat catatan kecil mengenai apa kebutuhan dalam sehari/ seminggu/sebulan dimana kita akan mengeluarkan uang kita sendiri. Tidak berhenti disitu, setelah melakukan pengeluaran kita dapat melakukan kompilasi penganggaran pengeluaran pribadi kita, dan pada akhirnya sebagai bahan evaluasi setiap hari/minggu/bulannya kita dapat membedakan mana yang menjadi kebutuhan yang tetap dipertahankan dan keinginan yang harus dieliminasi atau dikurangi intensitasnya.

Berlaku demikian, sebagai generasi muda pengendalian diri perlu dilakukan, dengan menggeser pola pikir FOMO menjadi JOMO (Joy of Missing Out), tampaknya perlu disadari kegunaan dan efek produk yang kita beli di masa mendatang dan jangka panjang, apakah produk tersebut hanya konsumtif yang tidak bermakna atau dapat membantu diri dan menjadikan hidup kita lebih produktif?
 
2. Alokasikan pembagian pendapatan ke dalam 4 (empat) proporsi
Pertama pokok untuk membayar sewa rumah/kos, memenuhi kebutuhan makanan dan minuman, membeli peralatan kerja/kuliah, biaya transportasi, biaya perawatan diri, dan sebagainya misalnya kebutuhan tersebut dialokasikan 50% pendapatan yang kita terima.

Kedua, kebutuhan darurat seperti kesehatan, biaya konsultasi dokter dan rumah sakit, biaya obat-obatan, vitamin dan keperluan mendesak dapat dialokasikan 20 persen dari pendapatan yang kita terima, kemudian 10% lainnya dapat digunakan untuk wadah pengembangan diri, mengikuti les bahasa, mengikuti sertifikasi kompetensi, mengikuti training dan sebagainya. 10% selanjutnya dapat digunakan untuk menabung dan menyicil kebutuhan masa depan (rumah, sekolah, kendaraan), 10% sisanya tentu digunakan untuk bantuan sosial dan kesurelawanan misal membantu teman, memberi hadiah teman, merayakan acara tertentu, bersedekah, berdonasi dan sebagainya.
 
3.Membuat arus penghasilan yang stabil dan berdampak positif bagi masa depan.
Dapat dilakukan dengan menabung, berinvestasi (saham, obligasi, properti) dan mengupayakan bisnis sampingan yang memberikan pendapatan tambahan bagi generasi muda, dapat dicontohkan membuat umkm, menghasilkan jasa yang kompeten dan sebagainya.
 
Dari ketiga cara tersebut mampu mendukung generasi muda yang memiliki relasi sehat dengan finansial dan diharapkan merdeka finansialnya. 

 
#YoungCompetitionBisnisMuda #BisnisMuda #YangMudaYangCuan