Ramai PHK Pegawai Startup, Benarkah Imbas Fenomena Bubble Burst?

Ilustrasi gelembung (Sumber gambar: Pixabay)

Ilustrasi gelembung (Sumber gambar: Pixabay)

Like

Belakangan ini,  sedang gencar terdengar kabar mengenai PHK atau lay-off besar-besaran yang dilakukan oleh beberapa startup. Sebenarnya apa sih yang terjadi?

Apakah benar industri startup mulai habis masa kejayaannya karena keseringan bakar uang? 

Kejadian ini banyak memicu perbincangan hingga ke media sosial dan banyak juga yang mengaitkan hal ini dengan fenomena bubble burst. Duh, istilah apa lagi tuh dan hubungannya apa dengan PHK pegawai startup?
 

Apa Itu Bubble Burst?

Melansir IDXChannel, bubble burst adalah istilah untuk menyebut pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan nilai pasar yang naik dengan pesat khususnya untuk harga aset. Peningkatan yang pesat ini kemudian diikuti dengan penurunan nilai yang cepat pula yang diibaratkan seperti pecahnya sebuah gelembung. 

Lihat jugaFenomena Bubble Burst Startup Bikin Takut Generasi Milenial dan Z

Tidak hanya dikaitkan dengan kasus startup yang ramai saat ini, bubble burst dapat terjadi setiap kali terjadi peningkatan harga suatu komoditas yang juga diakibatkan perubahan perilaku investor dan pasar.


Contohnya adalah fenomena bubble dot com yang pernah terjadi tahun 1998-2000-an dengan pesatnya kenaikan nilai perusahaan internet hingga "pecah" dan nilainya turun sangat drastis dalam waktu singkat.

 

Hubungan Bubble Burst dan PHK Pegawai Startup

Lalu, apakah fenomena ini saling berhubungan dengan ramainya PHK di beberapa startup? Bahkan banyak pula yang berspekulasi bahwa trend startup juga sudah akan berakhir dan pecah dengan fenomena ini. Apakah benar?

Menurut Rudiantara, Ketua Dewan Pengawa Asosiasi Fintech Indonesia, hal yang terjadi pada perusahan startup belakangan ini masih tergolong hal yang wajar dan tidak bisa semata-mata disebut sebagai bubble burst. Ia juga menyebut bahwa memang tidak semua startup akan sukses dan bertahan dalam waktu lama. Bahkan, hanya sekitar 10 persen startup yang dapat melewati 5 tahun pertama. 

Exposure media terhadap perkembangan startup secara pesat dan menjamur di Indonesia juga memberikan ekspektasi yang berlebih terhadap para perusahaan rintisan. Padahal, perubahan keputusan tentunya sudah lumrah dilakukan dalam membangun dan mempertahankan bisnis. 

Selain itu, mulai berkurangnya suntikan dana dari investor membuat perusahaan harus mengencangkan ikat pinggang agar dapat bertahan. Perubahan perilaku investor yang dulunya melirik perusahaan dengan fokus jumlah transaksi dan jumlah unduhan yang banyak didukung dengan bakar uang telah berubah menjadi road to profitability

Baca juga: Apa Saja Penyebab Gagalnya Startup?

Para investor dan venture capital mulai “menagih” profit yang diharapkan dari bisnis yang diberi dana tersebut. Hal ini menyebabkan beberapa startup harus menyesuaikan kembali strategi bisnisnya hingga memangkas beberapa pengeluaran di beberapa hal termasuk pengurangan pegawai. 

Efisiensi ini tentunya sangat penting dilakukan agar perusahaan tetap profit dan juga sustain mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi di pasar.

Dinamika ekonomi dari sebelum hingga setelah COVID-19 mereda tentunya juga membuat perilaku konsumen ikut berubah. Ditambah dengan inflasi dan resesi global yang menghantui semakin menekan banyak bisnis di sektor apapun. 

Pada akhirnya, yang saat ini dan mungkin ke depannya terjadi kepada banyak perusahaan startup adalah bentuk dari seleksi alam untuk menyeleksi perusahaan-perusahaan terbaik di bidangnya. Yang terkuat akan bertahan sampai akhir dan memenangkan pasar. 

Pemain baru yang akan masuk pun juga perlu bekerja extra dan membawa inovasi serta strategi yang mumpuni agar dapat bisa bergabung dan bertahan di pasar yang sama. 



Editor: Rachma Amalia