Prinsip dan Tanggung Jawab Ketika Investasi di bulan Ramadhan, Terapkan yang Satu Ini!

Sumber Gambar: https://pixabay.com/id/photos/rupiah-mata-uang-uang-keuangan-7304261/

Sumber Gambar: https://pixabay.com/id/photos/rupiah-mata-uang-uang-keuangan-7304261/

Like

Kata guru saya, kalau mau bisnis yang untungnya banyak, maka tabrak saja yang ada. Tidak peduli halal dan haram, pokoknya kerjakan semua. 

Saya berpikir memang begitulah yang banyak terjadi. Lakukan dulu, urusan halal dan haram nanti saja. Namun, saya tidak berani melakukannya.

Selama ini, tiap saya mau memulai bisnis baru, selalu ada pertimbangan halal dan haram. Selain itu, jika saya mau melakukannya, apakah akan menjadi dosa jariyah atau tidak? 

Seperti rencana bisnis untuk jasa ucapan lebaran melalui video. Saya menganggapnya cukup menguntungkan karena memang momennya sangat pas. 

Baca Juga: Mengapa IHSG Naik, Namun Portofolio Kamu Merah? Ini Penyebabnya!


Namun, ada pendapat berbeda. Guru saya, seorang ustaz, mengatakan itu tidak usah dilakukan. Pertama, karena pakai musik. Kedua, bukan bisnis yang seterusnya. Cuma bisnis temporer atau sementara. Lebih baik, bisnis yang berkelanjutan. 

Sedangkan teman saya juga punya pendapat serupa. Masih banyak bisnis lain yang lebih halal, kok! Tidak usah pakai musik untuk membuka jasa video ucapan lebaran.

Khawatirnya, jadi dosa jariyah selama video tersebut masih disimpan oleh orang lain dan terus disebarkan. 
 


Prinsip Utama

Dalam bisnis maupun investasi, baik di luar maupun di dalam bulan suci Ramadhan, selalu harus diterapkan prinsip sesuai dengan syariat Islam.

Hal itu juga menjadi tanggung jawab kita sebagai seorang muslim. Masa, mengaku muslim kok tidak mau dengan aturan Islam?

Saya pernah membaca biografi seorang pengusaha. Dia punya bisnis yang luar biasa besar. Asetnya sampai triliunan rupiah.

Baca Juga: Ada 8 Saham yang RUPS di Bandung, Pemburu Souvenir Merapat!

Bayangkan, triliunan, miliaran saja saya belum pernah pegang uangnya. Belum ada juga orang yang ngasih saya jumlah segitu. 

Pengusaha tersebut menjadi kaya raya karena memiliki bank sendiri. Ya, bank yang merupakan lembaga riba yang dilegalkan di negeri ini. 

Padahal, dosa riba itu adalah dosa besar. Seorang ulama besar pernah mengatakan bahwa dosa riba ini sangat besar karena pelakunya diancam diperangi Allah dan rasul-Nya.

Coba, bayangkan, diperangi Allah, lho! Apakah ada yang mampu memenangkan perang dengan Allah?

Baca Juga: Value Investing dalam Investasi Saham, Masih Relevankah?

Selain itu, bagian terkecilnya sama saja dosanya dengan menzinai ibu sendiri. Nah, ibu kandung yang jelas mahrom bagi kita, kok malah diperlakukan begitu atau berbuat begitu?

Zina yang sudah menjadi dosa besar, tambah besar lagi bila dilakukan dengan yang mahrom. 

Pelaku riba juga diancam dengan siksa kubur. Berenang di sungai darah, saat mau ke tepi, mulutnya dilempari batu.

Jelas sakitnya tidak terbayangkan lagi. Itu baru di dalam kubur, bagaimana nanti jika terancam lagi masuk neraka? 

Dosa riba memang tidak main-main dan tidak boleh dianggap remeh sama sekali. Namun, herannya, praktek riba itu sudah jamak terjadi, umumnya di kalangan pegawai negeri.

Sejak masih jadi CPNS, bank-bank umum sudah membuka kesempatan bagi para calon pegawai baru itu untuk menikmati kredit. 

Bank-bank tahu bahwa CPNS sudah punya gaji tetap. Apalagi kalau sudah jadi PNS. Dari CPNS menjadi PNS harus melalui diklat prajabatan.

PNS bisa mengambil kredit dengan jumlah tertentu. Nantinya dicicil dari gaji maupun tunjangan mereka tiap bulan. 

Baca Juga: Ini Dia Investor yang Bikin Prajogo Pangestu Makin Kaya!

Teman saya, seorang PNS, merasa bangga sudah mengambil kredit dari bank. Malah dia mengatakan SK-nya disekolahkan. Artinya, aman menurutnya, karena disimpan di bank.

Padahal, apanya yang aman kalau dosanya sudah diterima? Apakah aman masih memiliki dosa dan tidak termasuk dosa kecil? 

Jika yang kecil saja sudah luar biasa dosanya, bagaimana dengan yang punya bank, ya? Bagaimana dengan yang punya beberapa bank?

Bagaimana dengan yang punya jaringan bank secara nasional dengan ratusan cabangnya? Wah, wah, wah, saya tidak bisa membayangkan! 

Memang, untuk urusan ini, kembalinya kepada diri masing-masing. Ada juga yang berpandangan bahwa riba itu tidak apa-apa. Ya, terserah saja, 'kan memang pertanggungjawaban nanti juga masing-masing di akhirat.