Analisis UU KIA: Perlindungan Ibu Pekerja vs Beban Pengusaha

Ibu dan anak, sumber Pixabay.com

Ibu dan anak, sumber Pixabay.com

Like

Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak telah disahkan oleh pemerintah. Undang-undang ini membawa angin segar dan banyak yang menyambut gembira akan hal tersebut.

Harapan terhadap undang-undang ini adalah untuk membuat perubahan positif dalam perlindungan dan kesejahteraan ibu dan anak, terutama selama seribu hari pertama kehidupan anak.

Namun, bagaimana dengan pihak perusahaan? Apakah undang-undang KIA ini disambut baik atau justru sebaliknya?

Apa dampaknya terhadap perusahaan? Tidakkah hal ini justru membuat perusahaan enggan merekrut pekerja perempuan usia subur? Mari kita bahas uraikan lebih lanjut!

Sebelum membahas dampak UU KIA terlebih dahulu kita perhatikan poin besar undang-undang ini.


Baca Juga: Anti Dipotong Gaji Seperti Tapera, Kim Jong Un Beri 50 Ribu Rumah Gratis ke Warganya!


Poin Besar UU KIA 

1. Ibu mendapatkan cuti melahirkan paling sedikit 6 (enam) bulan.

2. Mendapatkan waktu istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan jika mengalami keguguran.

3. Ibu mendapatkan kesempatan dan tempat untuk melakukan laktasi, yaitu menyusui, menyiapkan, dan/atau menyimpan air susu Ibu perah (ASIP) selama waktu kerja.

4. Ibu tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap memperoleh haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

5. Selama cuti, ibu mendapatkan hak secara penuh 100 persen untuk tiga bulan pertama dan 75 persen untuk tiga bulan berikutnya.

6. Jika ibu diberhentikan dari pekerjaan dan/atau tidak mendapatkan haknya, maka pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah harus melakukan pendampingan.

Baca Juga: Malu-malu Negosiasi Gaji Saat Melamar Kerja? Ini Hal yang Harus Kamu Lakukan!

 

Dampak UU KIA Terhadap Ibu Pekerja 

1. Peningkatan Perlindungan dan Kesejahteraan

Undang-Undang ini memberikan perlindungan lebih baik bagi ibu pekerja. Terutama dalam hal cuti melahirkan.
 

2. Keseimbangan Kerja dan Kehidupan Pribadi

Peraturan baru ini juga mendukung keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi. Dengan adanya cuti melahirkan yang lebih panjang dan pengaturan upah yang lebih baik, ibu pekerja dapat fokus pada pemulihan pasca-persalinan dan perawatan anak tanpa tekanan untuk segera kembali bekerja.
 

3. Dukungan dari Pasangan

Hak cuti bagi suami untuk mendampingi istri selama persalinan dan dalam hal keguguran juga merupakan langkah positif.

Suami berhak mendapatkan cuti selama dua hari, yang dapat ditambah tiga hari lagi sesuai kesepakatan dengan pemberi kerja.

Dukungan emosional dan fisik dari suami selama masa persalinan sangat penting bagi ibu. Hal ini juga membantu dalam pembagian tanggung jawab pengasuhan anak antara suami dan istri, yang dapat mengurangi beban yang ditanggung ibu secara sendirian.
 

4. Pengakuan atas Peran Ibu dan Ayah

Undang-Undang ini juga menggarisbawahi tanggung jawab bersama antara ibu, ayah, dan keluarga dalam mengasuh anak selama seribu hari pertama kehidupan.

Bahwa peran ayah sama pentingnya dalam pengasuhan anak dan memberikan dukungan kepada ibu. Dengan demikian, undang-undang ini mendorong budaya pengasuhan yang lebih inklusif dan seimbang dalam keluarga.